Sejarah rempah berkaitan dengan perdagangan dan budidaya rempah ratusan tahun lalu. Hal ini melibatkan peradaban sejarah di Asia, Afrika Timur Laut dan Eropa. Rempah-rempah seperti kayu manis, kapulaga, jahe, lada, pala, bunga lawang, cengkeh dan kunyit telah dikenal serta digunakan pada zaman kuno dan diperdagangkan di negara-negara Timur. Rempah-rempah ini menyimpan kisah dan sejarah kelam sebelum akhirnya menjadi rempah yang populer di seluruh dunia.
Daya Tarik Rempah Bagi Bangsa Eropa
Selama ribuan tahun rempah-rempah dari anak benua India sangat diminati di seluruh Eropa dan Timur Tengah. Rempah menjadi bahan penyedap rasa utama agar rasa makanan lebih awet. Selain itu rempah juga menjadi simbol kekayaan dan prestis di antara kerajaan. Alhasil permintaan terhadap rempah begitu tinggi dan rempah menjadi pendorong utama ekonomi global di zaman klasik, abad pertengahan, dan renaisans.
Rempah bahkan dikaitkan dengan kebangkitan kelas pedagang Eropa yang kaya, munculnya negara-kota Italia yang kuat dari pengaruh Abad Kegelapan, dan kemenangan beberapa kerajaan paling berpengaruh dalam sejarah. Jatuhnya Konstantinopel ke Kekaisaran Ottoman pada tahun 1453 mencekik perdagangan rempah-rempah Eropa karena tarif yang dikenakan oleh Sultan atas rempah-rempah yang diperdagangankan melalui Timur Tengah ke Eropa sangat mahal.
Hal ini menyebabkan Christopher Columbus, Vasco de Gama, dan Magellan berusaha menemukan rute alternatif ke Asia untuk terus memenuhi permintaan rempah-rempah Eropa. Ini disebut Zaman Penemuan. Penjelajah Eropa tersebut membangkitkan rempah-rempah dengan mengekspansi Asia melalui kekuatan Spanyol, Portugis, dan Inggris.
Perdagangan Dan Monopoli Rempah Awal
Pada tahun 1400-an, Columbus mengarungi Atlantik dan Vasco da Gama mengitari Tanjung Harapan untuk menemukan rempah-rempah yang berharga. Orang Eropa kala itu memegang slogan For Christ and spices! dan mereka berhasil mendarat di Pantai Malabar (India). Inilah yang mengawali monopoli rempah di India sekaligus bentuk kolonialisme di negara tersebut.
Ratusan tahun setelah orang Eropa menemukan rute alternatif dari Asia, kemudian Perusahaan British East India datang mendarat di anak benua India pada tahun 1608. Secara bertahap perusahaan ini mengambil alih dan menjajah seluruh anak benua dengan dukungan kerajaan Inggris.
Selanjutnya, Inggris mengklasifikasikan, mengkategorikan, dan mengatur rempah-rempah ke dalam beberapa kategori untuk mengeksploitasinya demi keuntungan. Misalnya, mereka secara sewenang-wenang melabeli kunyit kuning paling terang dan varietas lada terbesar sebagai jenis rempah favorit. Padahal karakteristik ini tidak memiliki korelasi dengan rasa atau kandungan nutrisi. Alhasil kunyit kuning terang dan lada berukuran besar menjadi rempah mahal dan diperebutkan. Perebutan rempah tentu saja melibatkan penyiksaan bagi para masyarakat pribumi.
Selain itu, kampanye pemasaran branding paling awal dari perusahaan besutan Inggris juga berdampak pada pemahaman bahwa lada Malabar dan kunyit Allepey, menjadi jenis rempah yag akan anda lihat di toko grosir mana pun. Padahal ini bukan varietas botani, namun merek lokal yang menggunakan kesan kolonial agar rempah tersebut semakin terkenal dan menarik para konsumen.
Ketidakadilan Bagi Petani
Sejarah perdagangan rempah-rempah memperkaya banyak orang mulai dari pedagang individu hingga seluruh kerajaan, yang pada dasarnya semua orang yang terlibat kecuali petani. Sistem ini sebagian besar tetap tidak berubah sampai hari ini meskipun sudah jauh berkurang. Rantai pasokan tradisional dari petani ke konsumen melibatkan rantai yang panjang mulai dari rumah lelang, beberapa pedagang, eksportir, importir, grosir, dan pengecer.
Harga rempah-rempah di markup oleh masing-masing perantara, dan hasilnya keuntungan untuk petani hanya sedikit. Misalnya, harga pasar komoditas standar di India untuk satu kilogram kunyit adalah sekitar 35 sen. Pada saat mencapai Barat, harganya sekitar $35. Terlihat jelas betapa jauh ketimpangan penghasilan para petani dibandingkan pihak lainnya, belum lagi yang tanahnya dikuasai dan direbut paksa oleh para penjajah.
Untungnya, ada beberapa perusahaan yang melakukan pekerjaan dengan baik. Diaspora Company dan Burlap & Barrel mengabdikan diri untuk mendekolonisasi perdagangan rempah-rempah. Perusahaan ini memotong beberapa perantara dengan menjalin hubungan kerja dengan banyak petani secara langsung, yang memungkinkan mereka membayar petani hingga 10 kali lipat dari harga komoditas, serta mengatasi dampak negatif dari ekonomi kolonial. Perusahaan ini juga mendorong pengenalan kembali varietas langka ke pasar barat, varietas yang telah hilang karena warisan penjajahan sebelumnya.
Rempah Pala Dan Penjajahan
Pala atau nutmeg telah menjadi rempah favorit untuk berbagai hidangan, baik ditaburkan untuk roti dan kue, hingga bumbu pedas untuk hidangan utama. Namun ada sisi gelap dibalik rempah yang satu ini dengan pertumpahan darah yang sudah banyak terjadi.
Pala telah menjadi salah satu kisah paling menyedihkan dalam sejarah, itulah ucapan sejarawan kuliner Michael Krondl. Berbicara tentang sejarah rempah pala, maka anda akan mendengar kisah kelam tentang bagaimana Belanda menyiksa dan membantai penduduk Kepulauan Banda penghasil pala di Indonesia dalam upaya untuk memonopoli perdagangan pala.
Portugis dianggap sebagai negara yang lebih beruntung tahun 1511 karena berhasil mencaplok pulau-pulau Maluku di Indonesia, di mana Kepulauan Banda merupakan bagian kecilnya. Benteng-benteng yang didirikan di sana menyegel kesepakatan tentang monopoli yang akan berlangsung hampir 100 tahun.
Raja Manual I dari Portugal memiliki pengaruh besar dalam membawa rempah-rempah ke negaranya. Beberapa pelayaran laut membantu membangun jalur perdagangan ke India. Pada tahun 1501, melalui pelabuhan Lisbon, Portugal memiliki sejumlah besar rempah-rempah India seperti kayu manis, jahe, merica, pala, fuli, dan cengkeh. Raja mengirim misi dagang untuk mengembangkan pasar baru bagi rempah-rempahnya ke seluruh Eropa, terutama di Jerman. Ketika kekayaan rempah-rempah mengalir ke Jerman, Portugis hanya memonopoli perdagangan lada yang dianggap paling menguntungkan.
Sementara itu, pala mulai dilirik dan diistimewakan sebagai rempah berharga. Pala pernah menjadi alat pembayaran dan setara dengan emas. Michael Krondl menyamakannya dengan iPhone tahun 1600-an, yang menjadi simbol modis dan kemewahan bagi orang kaya. Pala dianggap eksotis dan cukup kuat untuk menyebabkan halusinasi, yang dianggap menaikkan mood dan perasaan positif ketika mengonsumsinya.
Pada tahun 1600-an, kekuatan Belanda dan Inggris cukup seimbang. Kedua negara saling bersaing memperebutkan wilayah dan menguasai perdagangan rempah-rempah. Pada 1667, setelah berpuluh tahun berperang dan berkali-kali melakukan gencatan senjata, kedua negara akhirnya duduk untuk membuat perjanjian.
Baik Belanda dan Inggris memiliki sesuatu yang diinginkan satu sama lain. Inggris ingin mempertahankan Manhattan, yang berhasil mereka kuasai beberapa tahun sebelumnya. Sementara Belanda menginginkan pulau penghasil pala terakhir yang dikuasai Inggris, serta wilayah di Amerika Selatan yang menghasilkan gula. Oleh sebabnya Belanda memberikan Manhattan kepada Inggris sepenuhnya, demi mendapatkan wilayah penghasil pala dan gula.
Perusahaan Hindia Timur Belanda (Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau VOC) merebut semua wilayah strategis di Indonesia, termasuk yang dikuasai kolonial sebelumnya (Portugis) dan satu Kepulauan Banda yang berhasil didapatkan dari kesepakatan dengan Inggris. Belanda resmi menguasai wilayah Hindia Belanda (Indonesia) dan memperbudak penduduk asli. Mereka menjatuhkan hukuman mati kepada setiap orang yang dicurigai menjual rempah pala kepada siapa pun di luar VOC.
Ketika beberapa penduduk pulau berani mengabaikan ancaman tersebut, kepala perusahaan saat itu, Jan Pieterszoon Coen, justru memerintahkan pemenggalan kepala setiap laki-laki Banda yang berusia di atas 15 tahun. Ini adalah upaya yang dilakukan VOC agar pala hanya dikuasai oleh Belanda dan tidak ada negara lain yang bisa membudidayakannya. Dalam waktu 15 tahun, populasi asli rempah pala yang awalnya sekitar 15.000 akhirnya berkurang menjadi hanya 600 saja.
Akhir Monopoli Rempah
Sejak tahun 1669, VOC telah mempekerjakan 50.000 orang, menggunakan 10.000 tentara dan 200 kapal, dan masih mampu membayar dividen tahunan sebesar 40 persen kepada para pemegang sahamnya. Namun, kontrol yang sempurna ini mulai berantakan, ketika Pierre Poivre, seorang ahli hortikultura Prancis yang juga dikenal sebagai Johnny Appleseed of Nutmeg, berhasil menyelundupkan biji pala dan berhasil pula menanam pohon rempah ini di wilayah koloni Prancis yaitu Mauritius, Afrika bagian Timur. Ini menjadi awal penyebaran pala di banyak negara dunia.
Sementara di wilayah Asia lainnya, tepatnya di India, pemukiman kolonial Portugis melibatkan banyak pedagang seperti bania Gujarat, Chetti India Selatan, Kristen Suriah, Cina dari provinsi Fujian, dan orang Arab dari Aden untuk melakukan transaksi perdagangan rempah-rempah. Perdagangan rempah khususnya lada, secara drastis mengubah pengalaman modernitas di Eropa. Banyak negara yang mulai menjual dan membudidayakan rempah di negaranya.
Selain membawa rempah, para pedagang juga ikut menyebarkan budaya masakan baru. Misalnya masakan India dibawa ke ke Asia Tenggara, terutama Malaysia dan Indonesia. Alhasil makanan di kedua negara tersebut juga erat dengan rempah khas India dan penggunaan lada hitam yang populer. Sebaliknya, masakan dan hasil bumi Asia Tenggara juga diperkenalkan ke India dan Sri Lanka, di mana kue beras dan hidangan berbahan dasar santan masih dominan.
Akhir penindasan dari penguasaan rempah juga dimulai ketika orang-orang Eropa menikah dengan orang India dan saling mempopulerkan keterampilan kuliner masing-masing. Makanan India mulai disesuaikan dengan selera Eropa, dan hal ini terlihat di Inggris pada tahun 1811 ketika tempat-tempat eksklusif mulai bermunculan. Alhasil, tidak seperti sebelumnya dimana monopoli bangsa Eropa telah mendominasi perdagangan rempah, kini perdagangan rempah relatif terdesentralisasi dan menyebar di banyak negara dunia.