Kaldu merupakan bahan makanan berupa kuah dari ekstrak tulang, daging, dan sayuran. Ekstrak dari bahan-bahan tersebut akan menghasilkan sari makanan yang memiliki cita rasa kuat. Biasanya kaldu paling banyak diperoleh dari kaldu ayam, kaldu sapi dan kaldu ikan. Selain itu kaldu tulang juga sering dijadikan bahan makanan oleh masyarakat di berbagai negara untuk meningkatkan sistem imun karena dikemas dengan banyak nutrisi.
Kaldu sangat disukai untuk berbagai masakan atau makanan, baik untuk menambah dan memperkuat rasa, bahkan menjadi aroma utama dari masakan tersebut. Kaldu tulang juga terus menjadi makanan pokok dalam masakan dan santapan. Koki restoran atau ibu rumah tangga sekalipun akan menggunakan kaldu untuk membuat sup, semur, saus, dan lain sebagainya.
Di balik popularitas kaldu, tahukah kamu sejarah kaldu dan perkembangannya?
Sejarah Awal
Berbagai budaya di seluruh dunia telah menjadi awal kemunculan kaldu tulang selama ribuan tahun hingga dikenal seperti sekarang. Lebih dari 2.500 tahun yang lalu, dalam pengobatan Tiongkok, kaldu tulang digunakan untuk memperkuat ginjal dan mendukung kesehatan pencernaan. Kaldu tulang kemudian menjadi makanan pokok tradisional Asia, dan saat ini sering digunakan sebagai dasar untuk berbagai sup Cina, Korea dan Jepang.
Di Yunani kuno, bapak kedokteran Hippocrates juga merekomendasikannya untuk masalah pembersihan dan pencernaan. Sebuah pepatah Amerika Selatan bahkan menyatakan bahwa “kaldu yang baik dapat membangkitkan orang mati” telah menjelaskan khasiat kaldu tulang yang luar biasa.
Pada abad ke-12, kaldu tulang mendapatkan popularitas dan dikenal sebagai “penisilin Yahudi” setelah dokter terkenal Maimonides mulai meresepkan kaldu ayam kepada pasiennya. Dia menggambarkannya sebagai “makanan yang sangat baik serta bertindak sebagai obat-obatan”. Sejak itu, varietas kaldu tulang telah digunakan lebih banyak dan lebih luas di seluruh dunia.
Sekarang bahkan kaldu tulang sangat umum dikonsumsi di daerah dengan iklim panas, seperti Karibia. Disana, sarapan dengan kaldu kaki sapi yang terkenal sangat kaya akan kolagen dan bagus untuk daya tahan tubuh, sehingga orang-orang di sana suka memanjakan diri mereka dengan semangkuk besar di pagi hari.
Nenek moyang kita di masa pemburu dan pengumpul, mulai membuat kaldu tulang karena kebutuhan. Membuang bagian tertentu dari hewan tidak terpikirkan, karena perburuan menjadi hal yang sangat sulit. Berhasil memburu hewan saja sudah menjadi momen yang luar biasa. Sehingga bukan hanya daging otot yang biasa dijual di pasar seperti sekarang yang disukai, melainkan setiap potongan hewan menjadi sangat berharga.
Dari kuku dan tulang hingga isi perut dan kulit, pemburu-pengumpul menguasai seni membuat setiap bagian dari hewan dengan teliti. Mereka makan semua yang mereka bisa. Selain itu, mereka menggunakan hal-hal yang tidak bisa mereka makan seperti kulit untuk membuat tempat berteduh, pakaian, senjata, dan peralatan.
Beberapa bagian hewan lain seperti tulang, kuku, buku jari, dll juga terlalu sulit untuk dikunyah, tetapi tidak berfungsi dengan baik untuk tempat berlindung atau pakaian. Jadi yang bisa dilakukan adalah membakar bagian-bagian hewan tersebut.
Para nenek moyang dengan cepat menemukan bahwa panas akan memecah tulang hewan yang keras dan mengeluarkan nutrisi. Hal-hal dimulai dengan cukup mendasar, nenek moyang kita mungkin menjatuhkan batu panas ke bangkai hewan untuk memanaskan tulang dan menghancurkannya. Tentu saja ini tanpa sarung tangan oven, dan diperkirakan ada ratusan kasus jari manusia gua yang terbakar saat proses tersebut.
Menggunakan Panci
Mungkin kedengarannya tidak menarik, tetapi penemuan panci zaman dulu adalah titik balik dari penemuan kaldu. Alih-alih menjatuhkan batu panas ke dalam bangkai hewan, orang bisa melemparkan tulang ke dalam panci, menggantungnya di atas api, dan membiarkannya selama beberapa jam.
Nenek moyang kita kemudian menambahkan makanan lain yang lebih mudah tersedia diantaranya sayuran, umbi-umbian, dan apapun itu, untuk dimasukkan ke dalam kaldu primitif. Kaldu ini pun menjadi sebuah makanan yang lengkap. Ini adalah awal mula ketika kaldu tulang modern (kombinasi tulang, air, sayuran, sesuatu yang asam, bumbu dan rempah-rempah) mulai dikenal.
Persebaran Hidangan Kaldu Di Dunia
Kaldu tulang memiliki banyak sebutan, misalnya oang Prancis menyebutnya “bouillon”. Orang Spanyol dan Portugis mengenalnya sebagai “caldo”. Di Italia, bahan makanan ini dikenal dengan nama “brodo”. Sejarah kaldu tulang selama bertahun-tahun membuktikan bahwa hidangan kuah ini telah mempertahankan reputasinya untuk banyak manfaat kesehatan dan rasa yang luar biasa dalam waktu yang lama.
Kaldu atau bru dalam bahasa Jerman diartikan sebagai “menyiapkan sesuatu dengan merebus”. Ya, pengertian kaldu memang sesederhana itu. Kaldu tulang berhasil melintasi perbatasan internasional dan menjadi makanan pokok masakan tradisional Asia. Makanan tradisional Cina sering kali menyajikan sup ringan yang terbuat dari kaldu tulang dan sayuran untuk membersihkan langit-langit mulut dan membantu pencernaan.
Terdapat hidangan yang dinamakan seolleongtang (hidangan Korea yang terbuat dari tulang sapi dan Sandung lamur) serta tonkotsu (sup mie Jepang yang terbuat dari tulang babi), yang keduanya memainkan peran besar dalam membuat variasi hidangan kaldu.
Di Amerika Selatan, kaldu tulang sangat populer dan dihormati karena manfaat kesehatan yang ditawarkan. Lebih lanjut, kaldu tulang bahkan menyebar ke Karibia. Orang-orang di sana makan “sup kaki sapi, dan terus memakannya hingga hari ini sebagai sarapan yang sehat dan untuk membantu menyembuhkan segala macam penyakit kesehatan.
Perkembangan Kaldu
Selama beberapa ratus tahun terakhir, teknologi baru membantu memperluas penggunaan kaldu tulang secara dramatis. Di era Victoria, orang mulai mengambil gelatin dari kaldu tulang dan menggunakannya untuk membuat semua jenis gelatin. Anda dapat membeli gelatin dari pedagang di jalanan, tetapi Anda harus memurnikannya sendiri. Tentu saja ini adalah proses yang sangat memakan waktu. Pada tahun 1845, Peter Cooper, seorang industrialis Amerika, mendapatkan paten untuk gelatin bubuk. Inilah yang mengawali munculnya kaldu bubuk seperti yang kita kenal sekarang.
Sementara, kaldu tulang buatan sendiri menjadi hits selama revolusi industri. Hal ini dikarenakan biaya bahan bakar naik, orang-orang yang biasa membiarkan kaldu mereka mendidih di atas api di rumah, karena tidak lagi mampu membeli gas untuk memanaskan kompor mereka selama berjam-jam.
Kemudian ketika orang bekerja lebih lama dan bepergian lebih banyak, para penemu menemukan cara baru yang kreatif untuk membuat kaldu tulang lebih mudah. Orang-orang mulai membuat dan menggunakan kaldu bubuk dan kaldu balok agar lebih praktis.
Saat ini, banyak tersedia kaldu instan buatan berbagai perusahan yang digunakan masyarakat, bahkan di Indonesia. Kaldu instan ini bisa berupa pasta kental, cube ataupun berbentuk kaldu bubuk. Di Indonesia sendiri kaldu instan sangat mudah ditemukan dalam berbagai merek. Beberapa merek yang terkenal misalnya Royco, Masako, Knorr dan masih banyak lagi.
Kemunculan MSG vs Kaldu Tulang
Setelah seorang ahli biokimia Jepang, Kikunae Ikeda menemukan Monosodium glutamate (MSG) yang sangat terkenal, ini adalah cara baru untuk meniru penyedap daging. Penemuan ini terjadi pada tahun 1908, dan semakin banyak perusahaan makanan mulai menggunakannya dalam produk mereka. Produsen makanan besar terkesan karena MSG memberikan rasa yang mirip dengan kaldu namun tentu saja tidak memiliki nutrisi seperti kaldu asli.
Seiring berjalannya waktu, MSG dan kaldu berjalan beriringan. Orang yang membutuhkan MSG sebagai penyedap rasa juga sangat banyak. Namun kehadiran MSG tampaknya tidak bisa menggantikan kaldu asli. Pasalnya, kaldu asli terutama jenis kaldu tulang dilihat sebagai makanan kesehatan. Dengan meningkatnya kesadaran akan kesehatan, maka orang-orang mulai membeli produk makanan organik dan menikmati makanan tanpa MSG.
Orang-orang yang sadar akan kesehatan tidak lagi tertarik hanya dengan membeli produk kaldu dengan pilihan termurah di toko kelontong. Produk ini tentu saja hanya memberikan kepuasan pada indera perasa saja. Sekarang, masyarakat bahkan rela mengeluarkan uang lebih untuk membeli kaldu asli atau justru membuatnya sendiri di rumah dengan membeli tulang dari pemasok daging lokal. Bonusnya, membuat kaldu tulang sendiri di rumah bisa dipadukan dengan rempah-rempah dan bahan herbal yang semakin menyegarkan rasa kaldu.