Anosmia adalah salah satu gejala umum yang dialami oleh penderita Covid-19. Ini adalah kondisi ketika seseorang tidak mampu menggunakan fungsi indera penciuman. Namun, anosmia faktanya tidak hanya terjadi atau dialami oleh penderita Covid-19, melainkan dapat juga terjadi pada kondisi lain.
Tentang Anosmia
Anosmia dalam bahasa inggris dikenal dengan smell blindness yang merujuk pada kondisi kehilangan indera penciuman untuk sementara. Anosmia bisa bersifat total maupun hanya parsial, artinya seseorang bisa saja tidak dapat mencium bau sama sekali atau masih bisa mencium beberapa jenis bau yang menyengat.
Biasanya kondisi anosmia akan berdampak pada kemungkinan seseorang akan sulit untuk merasakan cita rasa makanan. Hal ini akan menimbulkan penurunan nafsu makan sekaligus penurunan berat badan, malnutrisi, bahkan depresi bagi sebagian orang.
Sebagian besar anosmia bersifat sementara namun ada juga yang sifatnya permanen. Dokter Yonian Gentilis Kusumasmara, SpTHT-KL seorang pakar kesehatan dari Eka Hospital Bekasi menjelaskan bahwa anosmia bisa bertahan hingga 8 hari atau sampai 3 minggu. Anosmia hanya berupa gejala bukan sebuah diagnosa.
Istilah anosmia singkatnya adalah gangguan yang terjadi pada indera penciuman. Istilah ini juga berkaitan dengan hiposmia dan hiperosmia. Hiposmia adalah penurunan fungsi indera penciuman, sedangkan hiperosmia adalah kondisi peningkatan kemampuan indera penciuman yang terlalu tajam.
Penyebab Anosmia
Dikarenakan anosmia bukan penyakit utama, melainkan berupa gangguan dan gejala terkait penyakit tertentu, maka jika ditelusuri lebih lanjut, kondisi ini sangat mungkin terjadi karena beberapa hal berikut ini.
Faktor Usia
Seiring dengan bertambahnya usia, seseorang akan mengalami penurunan fungsi indera penciuman. Alasan orang lanjut usia lebih mungkin mengalami gejala anosmia yakni penurunan serabut saraf dan reseptor di bulbus olfaktorius pada otak manusia yang berperan dalam hal penciuman. Semakin bertambahnya usia maka kemampuan sel sensorik pada hidung akan berkurang atau bahkan hilang. Hal ini menyebabkan kerusakan kognitif sistem saraf pusat.
Seorang dokter bedah dan konsultan di Departemen Otorhinolaryngology RSU Singapura, Dr. Teo mengatakan bahwa studi populasi di Amerika Serikat menunjukkan hasil bahwa, sekitar setengah populasi yang berusia 65-80 tahun memiliki indera penciuman yang melemah. Hal ini paling sering disebabkan oleh sensitivitas reseptor hidung yang berkurang.
“Pengurangan dalam ukuran dan jumlah reseptor penciuman di hidung dan otak akan semakin kelihatan dan berkontribusi pada pelemahan kemampuan ini (penciuman)” pungkas Dr. Teo.
Iritasi Pada Selaput Lendir
Selaput lendir yang terdapat pada indera penciuman dapat mengalami iritasi seperti sinusitis, merokok, rhinitis, pilek, dan influenza. Biasanya iritasi pada indera penciuman ini paling umum terjadi dan hanya menyebabkan anosmia sementara yang akan hilang bersamaan dengan iritasi yang telah sembuh. Anosmia ini juga cenderung bersifat ringan dan tidak berdampak besar pada kualitas hidup seseorang.
“Anosmia tidak hanya dialami oleh penderita Covid, melainkan terjadi pada kondisi lain seperti penyakit flu biasa, bisa juga dari trauma kepala atau usia tua. Jenis anosmianya pun berbeda-beda” ujar Dokter Yonian dalam instagram live bersama Eka Hospital Bekasi.
Penyumbatan Saluran Pernapasan
Penyumbatan saluran hidung biasa disebabkan karena adanya peradangan yang menghalangi saluran pernapasan. Ini termasuk tumor hidung, polip hidung, deviasi septum, serta kelainan tulang hidung yang terjadi pada tulang septum. Penyumbatan pada hidung akan mencegah bau mencapai saraf penciuman, sehingga membuat seseorang tidak bisa mencium bau apapun. Biasanya penyumbatan pada hidung harus diobati secara medis entah melalui operasi ringan maupun dengan terapi tertentu.
Kerusakan Pada Saraf Dan Otak
Secara alami, dalam hidung manusia terdapat saraf pembau yang berfungsi sebagai penerima rangsangan berupa bau. Saraf pembau ini adalah reseptor utama bagi indera penciuman yang akan mengirimkan sinyal ke otak. Oleh sebabnya ketika saraf pembau dan otak mengalami kerusakan, maka mengakibatkan anosmia pada seseorang.
Anosmia dapat diawali dari kondisi paparan bahan kimia berbahaya, gangguan hormonal, diabetes, epilepsi, tumor otak, stroke, skizorfrenia, dan anosmia bawaan. Penyebab lain yang juga membuat kerusakan saraf dan otak meliputi penyakit Parkinson, Alzheimer, dan Huntington yang merupakan bagian dari gangguan neurodegeneratif.
Apabila seseorang mengalami karena kerusakan saraf dan otak, maka ini cenderung berbahaya mengganggu kualitas hidup seseorang, termasuk memicu depresi berkepanjangan. Inilah yang mungkin menyebabkan seseorang akan mengalami anosmia permanen. Hal ini sesuai dengan pendapat dari dokter Neville Teo dari RSU Singapura.
“Kemampuan itu (penciuman) akan sulit kembali bila serabut saraf rusak atau terluka yang biasa disebabkan oleh trauma kepala, tumor, operasi, atau bahkan infeksi virus. Kehilangan bau biasanya menjadi permanen dan tidak dapat diubah” kata dr. Neville Teo dari RSU Singapura.
Anosmia Karena Covid-19
Dalam sebuah jurnal Internal Medicine menjelaskan bahwa 86 persen pasien Covid-19 akan mengalami anosmia. Dari total tersebut hanya 55 persen yang mengalami gejala Covid ringan. Biasanya anosmia pada penderita Covid akan dibarengi dengan gangguan indera pengecap yang biasa membuat mulut terasa asin, pahit, terasa logam, maupun hambar. Anosmia ini cenderung ringan dan dapat sembuh dalam waktu 3 minggu.
“Menurut penelitian sebagian besar orang akan memulihkan indera penciumannya dalam waktu 3 minggu. Hal ini lebih cepat dibandingkan pemulihan pasca Covid yang mencapai 2 bulan hingga 6 bulan” ujar dr. Robert Glatter. Seorang dokter emergency di Lenox Hill Hospital, New York.
Pandangan ini sesuai dengan penyampaian Dokter Spesialis Telinga Hidung Tenggorokan-Bedah Kepala Leher Rumah Sakit Akademik (RSA) UGM, dr. Mahatma Sotya Bawono, M.Sc, Sp.THT-KL, yang mengatakan bahwa kemampuan penciuman dapat kembali normal atau sembuh dari anosmia pada pasien Covid-19 cukup bervariasi. Namun pada beberapa orang anosmia mungkin dapat berlangsung dalam jangka panjang bahkan tidak pulih.
“Ada yang bisa pulih dari anosmia, tetapi ada yang menetap atau tidak pulih. Namun, sejauh ini lebih banyak yang pulih” jelasnya.
Untuk penanganannya bisa tergantung derajat kerusakan saraf yang diakibatkan virus tersebut. Namun biasanya spesialis THT akan bekerjasama dengan spesialis paru-paru untuk mengobati berdasarkan derajat kerusakan sarafnya yang terkait saluran pernapasan.
Sejauh ini pasien Covid-19 yang mengalami anosmia disarankan untuk merangsang kembali penciuman dengan aroma yang kuat. Misalnya menggunakan esensial oil sembari mengonsumsi suplemen omega-3 fatty acid. Asam lemak ini dapat merangsang keaktifan saraf sensorik di dalam saluran pernapasan.
Pencegahan
Menjaga tubuh tetap sehat adalah pondasi dasar untuk menyembuhkan anosmia. Ini merujuk pada anosmia disebabkan oleh flu dan batuk biasa, reaksi alergi, kebiasaan merokok, maupun paparan bahan-bahan kimia. Dengan menjaga pola hidup sehat dan meminimalisir paparan radikal bebas dengan bahan alami, maka anosmia dapat dicegah. Hal tersebut dikarenakan cara ini mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh.
Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk meningkatkan sistem kekebalan tubuh antara lain mengonsumsi makanan gizi seimbang, konsumsi suplemen kesehatan bila diperlukan, melakukan vaksinasi, tetap menjaga kebersihan dan lingkungan tempat tinggal serta berolahraga secara teratur. Selain itu, jika mengalami gejala infeksi seperti demam, flu, dan pilek maka perbanyak istirahat, minum air hangat dan gunakan obat (alami maupun medis) untuk mempercepat penyembuhan.
Sementara anosmia yang disebabkan oleh faktor usia, penyumbatan saluran pernapasan, maupun kerusakan pada saraf dan otak, lebih sulit dicegah karena hal ini merupakan salah satu komplikasi yang cenderung “lebih ringan” jika dibandingkan dengan penyakit utama.
Artinya ketika seseorang mengalami penyakit kronis, maka secara medis anosmia cenderung dianggap sebagai “hal biasa” atau wajar sehingga kerap kali berjalan beriringan dengan kegiatan sehari-hari. Namun bagimanapun dengan mengobati akar dari penyebab anosmia, dapat menjadi langkah pencegahan agar anosmia dapat disembuhkan dan kembali normal.
Perawatan
Perawatan atau pengobatan bagi penderita anosmia sering kali disesuaikan dengan tingkat keparahan dan penyebab dari anosmia itu sendiri. Misalnya anosmia yang disebabkan oleh flu, alergi, dan infeksi sinus biasanya akan sembuh dengan sendirinya seiring dengan kondisi tubuh yang kian membaik. Sementara anosmia yang disebabkan oleh kelainan genetik sampai saat ini belum ditemukan bagaimana cara pengobatannya.
Apabila anosmia disebabkan oleh peradangan dan penyumbatan polip hidung, maka untuk sementara disarankan menggunakan semprotan hidung steroid. Sementara itu, pengobatan juga bisa dilakukan dengan operasi pengangkatan polip atau jenis penyumbatan lain. Jika penyumbatan pada hidung telah hilang, maka secara otomatis penderita anosmia dapat menggunakan fungsi penciuman kembali.
Biasanya anosmia yang disebabkan oleh penyakit serius akan didiagnosis menggunakan asetil sistein, CT scan, pemindaian MRI, dan endoskopi hidung untuk penyakit sinus. Pengobatannya juga akan sangat bergantung dengan kondisi pasien dan tingkat keparahan penyakit utamanya.
Menurut Professor Thomas Humel, seorang dokter spesialis THT di Universitas Dresden di Jerman, mengatakan bahwa pengobatan anosmia bisa dilakukan dengan merangsang indera penciuman menggunakan empat aroma tertentu. Aroma yang dimaksud adalah rose, eucalyptus, cengkeh, dan lemon.
“Bau-bauan ini dipetik dan dimanfaatkan untuk mempengaruhi pertumbuhan reseptor penciuman di hidung. Setiap bau (dari masing-masing bahan) dihirup secara mendalam selama 20 detik dengan durasi dua kali sehari. Sebanyak 45% penderita anosmia akan membaik dengan latihan penciuman. Sementara jika tanpa pelatihan hanya 22% yang bisa mencium bau lagi” pungkas Professor Humel.
Berdasarkan pandangan tersebut, tampaknya pendapat pakar lain juga menguatkan poin tentang melatih indera penciuman ketika mengalami anosmia. Menyetujui hal tersebut, Dr. Sylvia Sagita Siahaan, seorang dokter spesialis paru-paru menyampaikan bahwa rehabilitasi penciuman adalah langkah pengobatan terbaik.
“Yang paling baik rehabilitasi penciuman, misalnya mencium sesuatu seperti minyak kayu putih. Jadi kita rangsang saraf lagi, saraf-sarafnya untuk bisa beregenerasi supaya anosmianya mengalami perbaikan,” ujar Dokter Sylvia Sagita Siahaan.
Biasanya perawatan dan pengobatan anosmia dapat dibantu dengan antihistamin, dekongesten, dan antibiotik. Ini biasanya diresepkan oleh dokter ketika melakukan diagnosis. Sementara bagi pengidap alergi dan sinusitis biasanya anosmia akan membaik jika mendapat semprotan hidung steroid dan mengurangi paparan terhadap zat alergen. Sayangnya, hingga saat ini tidak ada pengobatan yang tersedia untuk orang yang mengalami anosmia yang disebabkan oleh kerusakan saraf dan otak selain meminimalisir gejala penyakit.
Meski demikian, jika anda mengalami anosmia maka tak perlu khawatir selama anda tidak memiliki riwayat penyakit kronis. Anosmia cenderung dapat disembuhkan atau dapat dikurangi gejalanya dengan usaha dan kesabaran ekstra.
Anosmia juga cenderung bisa dikendalikan jika penciuman dilatih terus menerus yang disertai dengan mengurangi faktor resiko, seperti berhenti merokok, menjaga protokol kesehatan hingga melakukan operasi untuk mengangkat penyumbatan pada saluran hidung bila diperlukan.