Kawasan DKI Jakarta ketika musim hujan tiba, identik dengan bencana banjir. Salah satu penyebabnya adalah pencemaran sungai yang terbentang di kawasan Jakarta secara luas. Setidaknya ada 13 sungai yang melintasi Jakarta dengan dua aliran sungai buatan, yaitu Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur. Dua sungai buatan ini difungsikan untuk menampung air saat volume sungai meningkat dan menyalurkan air agar meminimalisir banjir.
Salah satu langkah yang paling sering dilakukan dan masih berlangsung adalah normalisasi sungai-sungai di Jakarta oleh Pemprov DKI Jakarta. Normalisasi dilakukan dengan pengerukan sungai, memperlebar sungai, pemasangan batu kali, pembangunan sodetan, hingga pembangunan tanggul. Ini juga termasuk memastikan Dinas Kebersihan DKI Jakarta membantu mengontrol kebersihan sungai. Beberapa sungai yang menjadi kontributor banjir di Jakarta maupun sungai yang berhasil di normalisasi dapat disimak pada penjelasan di bawah ini.
Sungai Angke
Sungai bernama Kali Angke merupakan sungai yang berada di Jakarta dengan panjang 91,25 km. Sungai ini berhulu di Bogor kemudian melintasi wilayah Jawa Barat hingga bermuara di Cengkareng Drain, Laut Jawa. Sungai Angke juga kadang disebut sungai Cikeumeuh.
Banyak yang berpendapat bahwa kata “Angke” pada nama sungai ini didapatkan dari bahasa daerah Tiongkok yang artinya Kali Merah. Kali Merah dimaksudkan untuk menggambarkan pembantaian etnis Tionghoa selama 3 hari oleh VOC di Batavia tahun 1740. KIetika peristiwa tersebut, warna sungai menjadi merah yang berasal dari darah etnis Tionghoa yang dibantai.
Sungai Angke tidak pernah kering meskipun musim kemarau. Hal ini disebabkan hulu sungai langsung berada di wilayah yang banyak curah hujan di daerah Bogor. Namun, hal tersebut berdampak pada meluapnya sungai dalam skala besar ketika musim hujan datang. Ini menjadi salah satu penyebab banjir di Jakarta terutama di kawasan Pinang, Cipondoh, Ciledug, Joglo, Kembangan, Rawa Buaya, Duri Kosambi, dan Cengkareng.
Sungai ini memiliki suhu rata-rata setahun 27 derajat Celcius dengan suhu tertinggi 30 derajat Celcius pada musim panas. Curah hujan tertinggi biasanya terjadi pada bulan Desember dan terendah biasanya terjadi pada September. Cuaca dan iklim ini cocok dengan tumbuhan yang hidup di hutan hujan tropis, diantaranya pohon rengas, pandan kapur, bambu tali, putat, pulai, kecapi, dan waru.
Kali Baru Timur
Kali Baru Timur merupakan nama sungai di wilayah Jawa Barat dan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Sungai ini merupakan salah satu saluran sungai yang digali pada abad ke-18 atas perintah Gubernur Jenderal VOC, Gustaaf Willem van Imhoff untuk digunakan sebagai jalur pengangkutan hasil panen dari Bogor menuju Jakarta.
Tahun 1753 sungai ini diperpanjang dengan nama Kali Baru. Sungai ini beberapa kali mengalami kerusakan, dan membutuhkan biaya besar untuk memperbaikinya karena penggunaan sungai secara masif sebagai sarana pengangkutan barang. Setelah dua abad dimanfaatkan dalam bidang perdagangan, di tahun 1960-an sungai ini justru menjadi salah satu kontributor banjir di Jakarta Timur. Namun, di tahun 1970-an air jernih mengalir lagi di sungai Kali Baru Timur hingga menjadi sumber kehidupan masyarakat di daerah jalan Raya Bogor dan warga Gedong.
Namun, air jernih ini hilang dan berubah drastis menjadi sungai kotor sejak tahun 1975. Hal ini disebabkan pembangunan pabrik yang mengalihfungsikan sungai sebagai tempat pembuangan limbah pabrik serta sawah-sawah yang dilebur menjadi permukiman warga. Pada akhirnya air sungai berwarna coklat keruh hingga kehitaman. Hingga saat ini Kali Baru Timur merupakan sungai yang berpotensi membuat Jakarta banjir karena tumpukan sampah. Oleh karena itu, sungai Kali Baru Timur menjadi salah satu fokus pemerintah untuk dinormalisasi agar dampak kerusakan sungai tidak meluas.
Kali Baru Barat
Kali Baru Barat merupakan sungai buatan yang dibangun pada masa penjajahan Belanda setelah gagal mengelola Kali Baru Timur. Kali Baru Barat dibuat tahun 1776 sebagai upaya untuk mendapatkan suplai air tambahan yang dialirkan hingga ke Kali Sunter. Sungai ini menghubungkan Kali Cisadane dan Sungai Ciliwung di sebelah utara Bogor. Namun, saat ini Kali Baru Barat sudah terputus alirannya dengan Kali Ciliwung.
Kali Baru Barat termasuk ke dalam Sistem Aliran Wilayah Tengah DKI Jakarta bersamaan dengan Kali Ciliwung, Kali Krukut, dan Banjir Kanal Barat. Sungai ini juga menjadi bagian dari Pengendalian Banjir dan Perbaikan Sungai Ciliwung. Aliran sungai ini melintasi Kecamatan Pancoran dan Tebet, Jakarta Selatan. Ini merupakan salah satu sungai yang membuat banjir karena sumbatan tumpukan sampah. Oleh sebab itu pemerintah DKI Jakarta mulai membersihkan sungai Kali Baru Barat sejak tahun 2015 yang memberikan dampak positif berupa air sungai yang semakin jernih dan dapat dimanfaatkan kembali.
Kali Ciliwung
Sungai Ciliwung kerap dikaitkan dengan banjir yang setiap tahun pasti terjadi di kawasan Jakarta. Namun ternyata dibalik fakta tersebut, sungai Ciliwung sebenarnya merupakan sungai yang telah rusak akibat ulah manusia yang membuang sampah, limbah, hingga menutupi atau menghilangkan area resapan air di sekitar sungai.
Sungai Ciliwung memiliki panjang sekitar 120 km dengan luas Daerah Aliran Sungai mencapai 387 km persegi. Hulu sungai Ciliwung berada diantara perbatasan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Cianjur, tepatnya di dataran tinggi termasuk gunung Gede, gunung Pangrango, dan Cisarua atau daerah puncak. Sungai ini merupakan sungai yang bersejarah karena sudah ada dan dikelola Belanda sejak berkuasa di Jawa. Sungai Ciliwung juga pernah menjadi benteng alam dari kerajaan Padjajaran tahun 1482 sampai 1567.
Sungai Ciliwung yang memang terdengar tidak asing, adalah salah satu sungai yang menjadi prioritas pemulihan oleh pemerintah Indonesia. Pada tahun 2020 pemerintah merancang anggaran sebanyak dua triliun rupiah untuk menormalisasi fungsi Ciliwung. Hal ini dikarenakan sungai Ciliwung sudah sangat parah kerusakannya, misalnya hilangnya spesies dari 187 jenis ikan, kini yang tersisa hanya 20 jenis dan terancam punah. Sampah dan limbah juga ditampung di sungai Ciliwung dalam jumlah yang sangat besar, yang menjadi penyebab utama banjir.
Sejak tahun 2012 tepatnya tanggal 11 November diperingati sebagai Hari Ciliwung. Hari ini diciptakan karena keberhasilan masyarakat menemukan 2 ekor bulus (sejenis kura-kura) yang merupakan hewan endemik yang harus dijaga di sungai Ciliwung. Dengan ini, setiap tanggal 11 November menjadi peringatan untuk semua masyarakat yang tinggal di daerah sekitarnya untuk menjaga, merawat, dan memperbaiki kualitas sungai Ciliwung agar kualitas kehidupan masyarakat pun meningkat.
Kali Mookervaart
Sungai Mookervaart adalah sungai buatan yang dibangun tahun 1678 sampai 1689. Pada awalnya sungai dibangun untuk menghubungkan saluran penampungan air di kota Jakarta (saat itu disebut Batavia) untuk menambah volume air, sekaligus mengendalikan banjir. Pada tahun 1732 pemerintah Belanda memerintahkan penggalian sungai yang lebih dalam agar dapat mensuplai lebih banyak air ke kota, tetapi justru menjadi awal penularan penyakit malaria akibat semakin banyak genangan air diam. Dampak lain dari pembangunan tersebut yakni meluap tingginya sungai ini pada musim hujan sehingga memicu banjir.
Kali Mookervaart memiliki panjang 13 km dengan Daerah Pengaliran Sungai (DPS) seluas 67 km persegi. Saat ini sungai tersebut menjadi sebuah saluran air di provinsi Jakarta yang terhubung dengan Kali Angke dan sungai Cisadane di kota Tangerang. Sungai ini menjadi salah satu sungai penting untuk mengendalikan banjir di Jakarta. Namun, kegagalan pembangunan pada masa penjajahan Belanda menyebabkan sungai Mookervaart pun dapat memicu banjir. Ketika sungai ini meluap, maka jalan Daan Mogot di Jakarta Barat selalu banjir dan memicu kemacetan yang semakin parah.
Kali Krukut
Nama “Krukut” diambil dari nama perkampungan di kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat, terletak di antara dua sungai yakni Kali Ciliwung dan Kali Cideng. Kali Cideng kemudian berganti nama menjadi Kali Krukut. Sungai ini pada awalnya merupakan sungai yang sangat bersih bahkan menjadi tujuan wisatawan di bawah pemerintahan Belanda. Namun, sejak makin banyaknya penduduk dan pemerintah Belanda yang kurang mengelola sungai, menyebabkan padatnya pemukiman penduduk di sekitar sungai hingga airnya berubah menjadi kehitaman dan penuh dengan tumpukan sampah, hingga memicu banjir.
Kali Krukut berhulu di Situ Citayam, Depok, yang berakhir di wilayah Karet, Tanah Abang. Panjang sungai ini 31,39 km dengan Daerah Pengaliran Sungai (DPS) seluas 84,99 km persegi. Sepanjang sungai ini mengaliri daerah Bogor, Depok, Jagakarsa, Cilandang, Pasar Minggu, Kemang, Mampang Rapatan, Setiabudi, Pecinan Glodok, Gatot Subroto, hingga berakhir di Banjir Kanal Barat.
Bagian hilir dari Kali Krukut ini sudah menjadi penyebab banjir sejak 1890. Namun, pada masa gubernur Ali Sadikin sejak tahun 1966-1977 sudah dilakukan normalisasi untuk meluruskan alur dan melebarkan sungai sehingga sebagian dari sungai tersebut pun jinak. Pada proyek normalisasi tersebuh setidaknya 8000 orang telah digusur dari pinggir Kali Krukut. Akan tetapi tampaknya upaya ini belum maksimal, sehingga saat ini Kali Krukut masih berkontribusi dalam bencana banjir yang terjadi di Jakarta. Contohnya di tahun 2016 kawasan elit yaitu Kemang, Jakarta Selatan terendam banjir hingga berdampak pada rumah-rumah mewah, toko eksklusif, serta ribuan rumah warga.
Kali Pesanggrahan
Kali Pesanggrahan merupakan nama sungai yang berhulu di Bogor kemudian melintasi kota Depok, Jakarta Selatan. Hilir dari sungai ini berada di wilayah Tangerang. Pada masa pemerintahan VOC sekitar tahun 1720, Kali Pesanggrahan sebenarnya masih digunakan untuk jalur pengangkutan gula dari kebun ke kota Batavia. Akan tetapi sungai ini dianggap kurang penting sehingga terbengkalai dan tidak dikelola oleh pemerintah. Bahkan di masa pemerintahan Indonesia tahun 1970-an, Kali Pesanggrahan hanya dijadikan sebagai tempat pembuangan air dari Kali Grogol.
Perhatian mulai didapatkan oleh Kali Pesanggrahan ketika di tahun 1980-an menjadi penyebab banjir di pemakanan Tanah Kusir, salah satu tempat pemakaman di Jakarta. Di tahun 2012 Kali Pesanggrahan dianggap sebagai penyumbang terbesar dari bencana banjir di Jakarta dan kawasan Tangerang.
Hal tersebut diamini dengan mutu air sungai Pesanggrahan yang dinyatakan sudah tercemar 100 persen, berdasarkan penelitian bersama HSBC, Green Radio, Sanggabuana, dan Tansformasi Hijau. Kondisi air sungai yang sangat parah, dan sama sekali tidak layak digunakan untuk budidaya ikan. Bahkan di dalam sungai ditemukan hasil limbah logam seperti timah hitam, air raksa, dan kromium heksavalen yang tidak layak pakai. Oleh sebab itu sungai ini hanya dapat menjadi tempat hidup siput dan cacing.
Karena kerusakan sungai dan besarnya kontribusi terhadap banjir di Jakarta, program normalisasi Kali Pesanggrahan sudah dilakukan sejak tahun 2013. Proyek ini dilakukan dengan meluruskan aliran kali, serta membangun waduk di sekitar Jakarta Selatan sebagai tempat untuk menyimpan air di hulu sungai. Pembangunan tersebut sempat mengalami kontroversi karena warga keberatan atas nilai ganti rugi yang diberikan pemerintah kepada warga sekitarnya. Namun, konfrontasi dapat diselesaikan setelah negoisasi langsung dengan Joko Widodo. Akan tetapi tampaknya proyek ini pun tidak berhasil karena di tahun 2017 sungai ini kembali meluap dan membanjiri ratusan rumah di Pondok Pinang.
Kali Grogol
Kali Grogol adalah nama sungai yang mengalir di bagian barat Provinsi Jakarta. Kali Grogol berhulu di kabupaten Bogor dan mengalir ke utara melewati Kali Krukut. Sungai ini memiliki panjang 23,45 km yang melintasi Desa Sukadamai dan Desa Kencana. Sungai ini adalah saluran pembuangan bagi masyarakat yang tinggal di wilayah kecamatan Palmerah. Meskipun sungai ini sudah dibentuk kanal-kanal sebagai pintu air di tepi sungai, tetapi masih menjadi penyebab banjir di Jakarta.
Sejak tahun 2014 Kali Grogol sebenarnya sudah mendapatkan perhatian pemerintah. Bangunan-bangunan liar di pinggir sungai kala itu sudah digusur dan 58 keluarga sudah diberikan perumahan pengganti. Selanjutnya di tahun 2018 pemerintah Jakarta menormalisasi sungai dengan membangun balok beton untuk menahan tanah atau menahan masuknya air ke lubang galian. Hal ini ditujukan untuk mengatasi masalah banjir di kecamatan Palmerah. Proyek normalisasi ini berhasil dan selesai di tahun 2019. Kali Grogol yang dulunya merupakan kawasan kumuh dan kotor kini terlihat bersih dan tertata rapi.
Kali Cakung
Kali Cakung berhubungan dengan kali Jati Kramat dan Kali Buaran. Ketiga sungai ini bentuknya berkelok-kelok dengan hulu di Bekasi hingga bermuara di teluk Jakarta. Bentuknya yang berkelok membuat banyak masyarakat yang bermukim di pinggiran alur sungai Kali Cakung. Dahulu sekitar tahun 1960-an sungai ini menjadi salah satu sumber air untuk pengairan sawah, bahkan bisa diminum. Namun, di tahun 1990 banyak pendatang yang bermukim di Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung. Sejak itu pula area persawahan menjadi tempat permukiman sehingga tidak ada lagi daerah resapan untuk sungai.
Kali Cakung pun selalu meluap di musim hujan dan berkontribusi dalam bencana banjir di Jakarta. Untuk menangani masalah ini, pada tahun 2010 pemerintah provinsi DKI Jakarta melakukan pembangunan dengan pembuatan badan air untuk menampung air permukaan yang dinamakan Banjir Kanal Timur. Kanal ini memotong Kali Buaran, Kali Jati Kramat, Kali Sunter, Kali Cipinang, serta Kali Cakung. Dengan adanya kanal ini banyak permukiman yang terselamatkan dari banjir. Dahulu sebelum pembangunan kanal, setiap Kali Cakung meluap akan merendam rumah-rumah penduduk hingga satu meter.
Hingga saat ini Kali Cakung masih tetap menjadi penyebab banjir di Jakarta dikarenakan penyempitan alur sungai yang memiliki panjang 39,59 km ini. Daerah Pengaliran Sungai (DPS) seluas 154,78 km persegi. Selain itu, terdapat pengalihan alur sungai yang tidak sebanding dengan kapasitas input aliran air. Untuk menangani masalah ini pemerintah sudah berencana melebarkan dimensi Kali Cakung menjadi 12-15 meter, serta menambah kedalaman hingga 3 meter untuk menampung lebih banyak debit air. Bersamaan dengan hal ini, pemerintah juga menertibkan bangunan-bangunan yang menghambat aliran Kali Cakung.
Kali Cipinang
Kali Cipinang terletak di kawasan Jakarta Timur tepatnya di Kecamatan Makassar. Sungai ini pernah menjadi sungai yang kaya akan berbagai jenis ikan seperti mujair, tawes, dan lele. Bahkan bersihnya air sungai ini membuat banyak masyarakat yang menjadikannya tempat mandi. Luas Kali Cipinang juga masih lebar hingga 7 meter dan kedalalaman 3-4 meter. Namun, itu terjadi puluhan tahun lalu, karena sejak 10 tahun yang lalu bantaran Kali Cipinang sudah padat pemukiman.
Warga membangun tempat tinggal hingga kontrakan-kontrakan yang sempit membuat sungai ini menjadi hitam tercemar. Selain itu, salah satu perusahaan tekstil dari Ciracas juga membuang limbah perusahaannya di Kali Cipinang. Bahkan bekas tempat pemancingan di Kali Cipinang menjadi tempat tumpukan sampah selama berpuluh-puluh tahun hingga tingginya mencapai atap rumah. Akibatnya banjir tidak terhindarkan dan bisa mencapai 1,5 meter.
Sungai sepanjang 37,68 km dengan Daerah Pengaliran Sungai seluas 57,45 km persegi ini, sedang menjalani normalisasi yang dilakukan melalui Banjir Kanal Timur. Pada tahun 2014 rencana normalisasi terhadap Kali Cipinang yakni akan dilebarkan menjadi 12 meter dan digali kembali hingga kedalaman 3 meter. Sampah yang menggunung tersebut pun akhirnya di tahun 2015 diangkut dengan pengerukan sampah ketika masa gubernur Basuki Tjahaja Purnama. Sampai detik ini normalisasi bantaran Kali Cipinang masih dilakukan, salah satunya dengan pembuatan waduk.
Kali Sunter
Kali Sunter mengalir di bagian timur Jakarta dengan panjang aliran sungai 37 km. Daerah aliran sungai ini sangat padat penduduknya sehingga tak heran jika menjadi langganan banjir. Namun, saat ini kondisi Kali Sunter mulai membaik karena normalisasi cukup berhasil mengurangi dampak banjir tersebut. Salah satu wilayah yang telah sukses menghindari banjir adalah Kelurahan Cipinang Melayu yang menjadi salah satu kampung di bantaran Kali Sunter.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberikan cukup banyak perhatian dan penanganan Kali Sunter sejak tahun 2020 lalu. Sejauh ini pemerintah provinsi DKI Jakarta telah melakukan pengerukan di tanggul-tanggul dekat aliran Kali Sunter. Pembebasan lahan warga juga sedang melalui proses ganti rugi, proyek ini merupakan kerjasama dengan Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Ganti rugi untuk pembebasan lahan sudah terealisasi untuk beberapa orang sejak tahun lalu. Kabar baiknya banjir terakhir yang terjadi di Jakarta awal tahun 2021, tidak berdampak pada Kali Sunter sehingga kawasan Cipinang Melayu dapat menuntaskan banjir. Meski demikian, proses normalisasi masih terus dilakukan untuk mengantisipasi banjir di masa depan.
Kali Jati Kramat
Sungai Kali Jati Kramat memiliki panjang 14,5 km dengan luas daerah pengaliran sungai 16,50 km persegi. Sungai ini mengalir dari kota Bekasi dan bagian timur di Jakarta. Muara sungai berada di Marunda, Jakarta Utara, dengan hilir ditampung di Banjir Kanal Timur. Kanal ini merupakan upaya teknologi untuk mengatasi banjir dengan memberikan ruang air sungai agar adanya drainase pembuangan dari limbah industri maupun pemukiman.
Sejak tahun 2000, Kali Jati Kramat diluruskan, digali, dan diperkuat tebingnya dengan beton untuk mengurangi dampak banjir. Kemudian normalisasi Kali Jati Kramat dilakukan kembali sejak tahun 2015. Sungai Kali Jati Kramat erat kaitannya dengan Kali Cakung dan Kali Buaran yang saling terhubung, sehingga normalisasi ketiga sungai ini dilakukan bersamaan.
Sebagai informasi tambahan, di tahun 2007 Kali Jati Kramat dan Kali Buaran meluap dan menyebabkan banjir terparah hingga menenggelamkan ratusan rumah warga hingga lebih dari 1 meter. Namun, saat ini sungai Kali Jati Kramat sebagian sudah berhasil dimanfaatkan kembali sejak pembangunan Banjir Kanal Timur. Aliran Kali Jati Kramat di belakang kompleks Kavling DKI Pondok Kelapa masih asri, airnya jernih dan kanan kiri masih ditumbuhi banyak pohon. Hal ini dikarenakan masyarakat di sekitar kompleks tersebut mampu mengelola sampah secara mandiri.
Kali Buaran
Sama seperti dua sungai sebelumnya, Kali Buaran berhubungan erat dengan Kali Cakung dan Kali Jati Kramat. Ketiganya berhulu di Bekasi dan bermuara di kawasan Marunda. Sebelum tahun 1990, Kali Buaran sangat bersih sehingga dimanfaatkan untuk irigasi sawah, memenuhi kebutuhan rumah tangga, tempat pemandian hingga banyak anak-anak yang menikmati berenang disana.
Namun, memasuki tahun 1993, persawahan di dekat sungai ini mulai hilang berganti dengan pemukiman dan jalan layang yang menghubungkan Jalan Radjiman dengan Jalan Radin Inten II. Jalan tersebut menjadi asal muasal kawasan Kali Buaran semakin padat. Sejak saat itu sungai Kali Buaran menjadi kotor dan keruh, hingga menyebabkan banjir.
Banjir di tahun 2007 juga disebabkan oleh luapan Kali Buaran hingga nyaris merendam stasiun Buaran yang berada 5 meter di atas permukaan sungai. Pada tahun 2016 normalisasi Kali Buaran baru dimulai, ditandai dengan kebijakan pemerintah untuk menggusur bangunan-bangunan liar di sepanjang aliran sungai yang memiliki panjang 18,87 km itu.
Setelah mengetahui 13 daftar sungai di Jakarta serta fakta-faktanya, mungkin kita sudah tahu bahwa mengelola sungai adalah kewajiban manusia, terutama masyarakat yang berada di wilayah yang dilintasi sungai. Membiarkan sampah menumpuk atau mengeksplotasi daerah resapan air di bantaran sungai, hanya akan memberikan dampak negatif bagi manusia itu sendiri. Sudah saatnya seluruh lapisan masyarakat memahami urgensi memperbaiki sungai dengan mengelola sampah secara mandiri dan mendukung normalisasi yang dijalankan pemerintah.