Terusan Suez adalah jalur air di permukaan laut yang membentang dari utara-selatan. Terusan suez menghubungkan Laut Mediterania dan Laut Merah yang melintasi Tanah Genting Suez di Mesir. Terusan ini memisahkan benua Afrika dari Asia sekaligus menyediakan jalur laut terpendek antara Eropa dan daratan yang terletak di sekitar Samudra Hindia dan Pasifik Barat. Ini termasuk salah satu jalur pelayaran yang paling banyak digunakan di dunia.
Berasal Dari Mesir Kuno
Tidak hanya Sarkofagus yang identik dengan Mesir, ternyata Terusan Suez yang populer pun berawal dari peradaban Mesir Kuno. Sesuai dengan catatan sejarah, Mesir adalah negara yang pertama kali melakukan penggalian di seluruh daratannya untuk membuat kanal dengan tujuan sebagai jalur perdagangan dunia. Terusan Suez modern yang dikenal saat ini adalah versi terbaru dari saluran air buatan manusia yang hakikatnya sejak dulu telah melintasi Mesir Kuno. Firaun Senusret III di era Mesir Kuno sudah membangun kanal awal yang menghubungkan Laut Merah dan Sungai Nil. Pembangunan ini terjadi sekitar pada tahun 1887-1849 SM.
Selanjutnya Terusan Suez mulai mengalami pendangkalan dan dibangun kembali sebagai jalur perdagangan oleh beberapa pemimpin Mesir Kuno lainnya, yakni Sity I (1310 SM), Necho II (610 SM), Raja Persia Darius (522 SM), Polemy II (285 SM), Kaisar Trajan (117 M) dan Amro Ibn Elass (640 M) hingga memasuki zaman Islam. Dapat dikatakan bahwa Firaun Necho II dan Raja Persia Darius adalah orang yang pertama kali memulai pembangunan kanal antara cabang Pelusian dari Sungai Nil dan ujung utara Danau Bitter.
Pada awalnya pembangunan dimulai oleh Firaun Necho II dengan membuat saluran kanal menuju ke Laut Erythraian yakni Laut Merah dan Laut Mediterania. Kanal tersebut diperluas ke dekat kota Ismailia. Setelah lama ditinggalkan dan terbengkalai, akhirnya kanal tersebut dibangun kembali oleh Penguasa Persia bernama Darius I tepatnya sekitar 522-486 SM.
Kanal dari hasil pembangunan tersebut menjadi cukup lebar dan besar. Oleh sebabnya dua kapal besar bisa saling berpapasan dan untuk melintasinya pun membutuhkan waktu minimal 4 hari. Pembangunan kanal kemudian dilanjutkan lagi ke Laut Merah di masa kepemimpinan lain yakni oleh Ptolemeus II Philadelphus (285-246 SM) dan Trajan (98-117 M). Selama Dinasti Ptolemeus dan banyak tokoh sejarah dari Mesir Kuno termasuk Cleopatra, dipercaya sudah melakukan perjalanan di atas kanal yang dibuat oleh para Firaun. Meskipun Terusan Suez di era ini menghubungkan Sungai Nil dan Mediterania dengan melewati gurun, namun inilah yang menjadi cikal bakal dari jalur Terusan Suez modern.
Pertimbangan Napoleon Bonaparte
Setelah menaklukkan Mesir pada tahun 1798, komandan militer Prancis bernama Napoleon Bonaparte berpikir untuk membangun sebuah pelayaran yang memungkinkan kapal dagang berlayar dari Laut Tengah ke Samudra Hindia melalui Laut Merah. Hal tersebut didasari karena semua kapal dagang dari laut tengah harus mengitari Afrika Selatan untuk menuju Samudra Hindia. Tentu saja jalur tersebut membuat durasi perjalanan menjadi lebih lama. Akhirnya Napoleon Bonaparte mengirim tim surveyor dan ikut secara pribadi untuk menyelidiki tanah genting suez.
Akan tetapi setelah empat kunjungan ke wilayah tersebut, tim surveyor salah menyimpulkan bahwa Laut Merah memiliki tinggi setidaknya 30 kaki lebih tinggi dibandingkan Laut Mediterania. Oleh sebabnya apabila dipaksakan untuk membuat kanal, maka dikhawatirkan dapat mengakibatkan bencana banjir yang berasal dari Delta Nil. Perhitungan yang salah ini membuat Napoleon Bona Parte ragu tentang keberlanjutan proyek, sehingga rencana pembangunan kanal terhenti hingga tahun 1847. Selanjutnya pembangunan dilanjutkan oleh Ferdinand Vicomte de Lesseps setelah tim surveyor mengkonfirmasi kembali bahwa tidak ada perbedaan ketinggian yang signifikan antara Laut Merah dan Laut Mediterania.
Mayoritas Buruh Merupakan Penduduk Asli
Mayoritas buruh yang bekerja untuk membangun Terusan Suez adalah penduduk asli Mesir. Pada pembangunan Terusan Suez setidaknya ada sekitar 30 ribu pekerja Mesir. Pada saat itu Terusan Suez dibangun dengan kombinasi dari tenaga kerja manual atau tenaga manusia dengan teknologi seadanya. Penyusunan sebagian besar susunan pekerja saat itu berada di bawah pengawasan langsung dari Khedive yang saat itu menjabat sebagai raja muda atau gubernur Mesir. Sebenarnya para buruh saat itu adalah tenaga kerja paksa. Mereka dipaksa untuk bekerja dan diancam oleh para pemilik lahan sehingga kondisi buruh diperlakukan sangat tidak manusiawi.
Memotong Jarak Asia dan Eropa
Terusan Suez membentang sepanjang 193 km dan menjadi jalur tercepat untuk mengakses Eropa ke Asia tanpa perlu melewati Afrika. Ini menjadi jalur laut terpendek antara Eropa dengan daratan di sekitar Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Terusan ini dibangun oleh prakarsa insinyur Prancis dengan nama Ferdinand Vicomte de Lesseps. Terusan ini dibuat dengan dua bagian yaitu bagian utara dan selatan yang menghubungkan Laut Mediterania ke Laut Merah. Sebagai informasi, secara internasional Terusan Suez kemudian selesai dibangun pada November tahun 1869.
Pembangunannya Sempat Ditentang Pemerintah Inggris
Ferdinand Vicomte de Lesseps merupakan seorang mantan diplomat sehingga untuk mencapai kesepakatan dalam membangun Perusahaan Terusan Suez bersama dengan Mesir cukup “mudah”. Akan tetapi proyek tersebut juga mendapat dukungan dari Kaisar Prancis Napoleon III. Persetujuan dari Prancis, kemudian dipandang Inggris sebagai sekutu dari Prancis telah melakukan pembangkangan yang disengaja terhadap kekuatan pelayaran global. Oleh sebabnya Inggris mengkritik pembangunan Terusan Suez tersebut selama bertahun-tahun.
Namun ketika pemerintah Mesir mengajukan lelang terhadap saham perusahaan Terusan Suez, Inggris justru tidak ragu untuk membeli 44 persen saham bahkan menjadi pemegang saham mayoritas. Pelelangan dilakukan untuk mendapatkan dana lebih banyak dalam rangka membangun Terusan Suez dengan fasilitas yang lengkap dan aman seperti yang dikenal saat ini.
Patung Liberty Awalnya Ditujukan Untuk Terusan Suez
Ketika pembanguan Terusan Suez hampir selesai di tahun 1869, seorang pematung dari Prancis bernama Frederic-Auguste Bartholdi mencoba meyakinkan pemerintah Mesir serta Ferdinand de Lesseps untuk membangun patung yang akan diletakkan pada pintu masuk Terusan Suez. Bartholdi berencana membuat patung setinggi 27 meter berupa seorang wanita yang menggunakan jubah petani ala Mesir dengan memegang obor besar. Patung ini diniatkan sebagai mercusuar untuk memandu kapal menuju ke kanal Terusan Suez.
Namun karena terkendala oleh masalah teknis, akhirnya proyek patung ini tidak terwujud. Bartholdi tidak putus asa dan terus berusaha merealisasikan ide tentang patung tersebut. Akhirnya di tahun 1886 Bartholdi berhasil mewujudkan ide patung tersebut secara lengkap di New York Harbour. Secara resmi patung tersebut dinamakan Liberty Enlightening the World. Monumen itu juga memiliki nama lain, yang disebut patung Liberty seperti yang dikenal sekarang.
Pernah Mengalami Krisis Suez
Terusan Suez didanai oleh pemerintah Prancis dan Mesir. Secara teknis wilayah yang mengelilingi Terusan Suez ini merupakan bagian dari wilayah kedaulatan Mesir. Bahkan perusahaan yang mengurus operasional dari Terusan Suez adalah perusahaan Mesir. Namun nyatanya Terusan Suez penting bagi negara Eropa lain, terutama Inggris Raya karena menghubungkan India, Timur Jauh, Australia, dan Selandia Baru yang merupakan koloni Inggris saat itu. Oleh sebabnya tahun 1875 Inggris Raya membeli saham dari perusahaan Suez Canal Company. Ini menjadi awal keinginan Inggris untuk menguasai Terusan Suez.
Tentara-tentara Inggris pun telah berjaga di sepanjang Terusan Suez sejak tahun 1800-an. Namun karena Terusan Suez menjadi jalur paling strategis sehingga banyak “diperebutkan” oleh berbagai negara. Saat Mesir dipimpin oleh presiden Gamal Abdul Nasir, negara ini menasionalisasi Terusan Suez pada tanggal 26 Juli 1956. Hal ini kemudian memicu terjadinya krisis Suez karena Prancis dan Inggris tidak terima jika Terusan Suez dikuasai Mesir. Perebutan Terusan ini kemudian memicu serangan gabungan pada 29 Oktober 1956 yang melibatkan Israel, Inggris, Prancis, dan Mesir. Namun berkat intervensi PBB Amerika Serikat dan Uni Soviet maka konflik tersebut dapat diselesaikan.
Perang di Terusan Suez
Pada tahun 1967 terjadi perang antara Mesir dan negara-negara arab lain melawan Israel. Perang ini dikenal sebagai Perang Enam Hari. Terusan Suez pun rusak parah akibat menjadi medan perang dan tidak bisa digunakan sementara karena kedua kubu berkemah di kedua sisi Terusan Suez. Dampak perang yang cukup parah pun memaksa Terusan Suez ditutup hingga tahun 1973 setelah perang Yom Kippur. Mesir kemudian mendapat kembali kendali penuh atas Terusan Suez setelah perang tersebut. Lebih lanjut, setelah pembenahan pasca perang, pada tahun 1975 Terusan Suez kembali beroperasi hingga sekarang.
Perluasan Terusan Suez
Pemerintah Mesir memutuskan untuk memperluas Terusan Suez agar mengurangi jarak sekaligus mempromosikan perdagangan dunia. Terusan Suez juga diperluas untuk membuat perdagangan antara Asia dan Eropa semakin lancar. Proyek ini dilakukan sejak tahun 2014 yang diprogram agar selesai pada akhir 2016.
Awalnya Terusan Suez berhasil memotong perjalanan dari Asia ke Eropa sejauh 7.000 km, sementara proyek yang sudah selesai meningkat menjadi 9.600 km. Pada tahun 2015, perpanjangan Terusan Suez ini dipercaya akan meningkatkan pendapatan tahunan Mesir menjadi 13,2 miliar dollar AS pada 2023. Sebagai gambaran tahun lalu peningkatan pendapatan Mesir dari Terusan Suez senilai 5,6 miliar dollar AS per tahun atau setara dengan 80,7 triliun rupiah.
Terusan Suez Macet
Pada 23 Maret 2021, Terusan Suez menjadi berita besar karena mengalami macet. Hal ini disebabkan adanya kapal tersangkut di kedua sisi (diagonal) kanal yakni kapal raksasa bernama Evergreen. Kapal Evergreen terseret angin badai pasir dan pandangan kaptennya terhalang oleh badai sehingga kapal ini mengalami mati mesin dan terhenti di Terusan Suez. Akhirnya Terusan Suez ditutup hingga berminggu-minggu lamanya untuk melakukan proses evakuasi kapal.
Tersangkutnya kapal Evergreen ini membuat pengiriman global terhambat. Padahal 12 persen perdagangan dunia melewati Terusan Suez. Hal ini menyebabkan Terusan Suez yang menjadi jaur transportasi layar paling sibuk di laut internasional justru mengalami kerugian mencapai ratusan triliun setiap harinya. Setidaknya terdapat 200 kapal di Terusan Suez yang harus menunggu antrian dan ratusan lainnya memilih untuk memutar balik.
Demikian fakta menarik dari Terusan Suez yang ternyata mengalami lika-liku pembangunan dan dinamika pada perjalanannya hingga sekarang. Selain itu, Terusan Suez menjadi jalur perdagangan laut paling strategis ternyata menyimpan sejarah dari berbagai negara bahkan sejak peradaban Mesir Kuno. Maka tak heran jika Terusan Suez masih dianggap menarik untuk dibahas oleh masyarakat dunia hingga saat ini.