Penanggalan Hijriah dan 4 Kriteria Penentunya

Daftar Isi

penanggalan hijriah dan 4 kriteria penentunya

Berbeda dengan sistem penanggalan masehi yang mengacu pada pergerakan matahari, penanggalan tahun Hijriah menggunakan pergerakan bulan sebagai patokannya. Jika dipelajari lebih dalam, maka penanggalan hijriah jauh lebih luas dan rumit daripada penanggalan masehi.

Dalam sistem yang telah berlangsung di Indonesia, setiap petang di tanggal 29 bulan hijriah, pemerintah akan melakukan kegiatan hisab dan rukyat yang diwakilkan oleh Badan Hisab Rakyat (BHR). Hasil yang telah didapat oleh BHR lalu diputuskan melalui sidang Isbat, apakah bulan ini terjadi penggenapan atau tidak. Contohnya adalah ketika menetapkan awal dan akhir pada bulan Ramadhan.

Di Indonesia, hal ini selalu menjadi perbincangan klasik yang panas dan menarik, karena setiap organisasi Islam dan pihak pemerintah sekalipun memiliki kriterianya sendiri dalam menentukannya. Selain digunakan untuk menentukan awal dan akhir dari bulan Ramadhan, dua metode dasar dalam menetapkan penanggalan hijriah, yaitu hisab dan rukyat, juga dipakai untuk menentukan bulan-bulan penting lainnya seperti Dzulhijjah, Muharram, atau Sya’ban.

Sistem penanggalan hijriah telah dirinci secara lengkap dalam ilmu falak, yaitu ilmu yang mempelajari, mengamati, dan menghitung posisi benda langit, khususnya bumi, bulan, serta matahari. Posisi dari benda langit sendiri akan mempengaruhi perputaran waktu di bumi. Hal ini juga bisa kita pelajari dalam ilmu falak.

Ilmu falak ini juga memiliki beberapa nama lain. Seperti halnya ilmu hisab (الحساب) karena membutuhkan perhitungan, ilmu rashd (الرصد)karena membutuhkan pengamatan, ilmu miqot (الميقات) karena menentukan batas waktu, serta ilmu haiah (الهيئة), karena ilmu ini juga mempelajari keadaan benda langit.

penanggalan hijriah dan 4 kriteria penentunya menentukan bulan ramadhan

Hisab adalah perhitungan matematis dan astronomis dalam menentukan posisi bulan, yang berguna untuk menghitung bulan baru pada tahun hijriah. Rukyat sendiri dapat diartikan sebagai aktivitas untuk mengamati tingkat visibilitas hilal. Aktivitas ini bisa dilakukan dengan dua metode, yaitu dengan menggunakan alat seperti teleskop yang memiliki berbagai teknologi, ataupun tanpa alat bantu apapun. Karena ada saatnya hilal bisa terlihat secara langsung.

Bisa diartikan jika hilal adalah penampakan bulan sabit tipis yang terjadi setelah konjungsi astronomis, yang situasi ketika bumi dan bulan sama-sama berada di posisi 0°. Diketahui jika hilal hanya muncul setelah maghrib karena cahaya yang dipancarkan hilal lebih redup dari matahari.

Selain dua elemen dasar itu, di Indonesia, terdapat empat kriteria yang digunakan untuk menentukan tibanya bulan baru pada tahun hijriah. Keempat kriteria ini bisa memiliki perhitungan dan metode yang berbeda-beda, sehingga tidak jarang hasilnya akan berbeda antara satu kriteria dengan kriteria lainnya. Meskipun begitu, bisa saja hasilnya memiliki kecocokan dengan salah satu atau semua kriteria lainnya. Diketahui keempat kriteria itu adalah:

Rukyatul Hilal

Kriteria ini terwujud dengan cara mengamati hilal secara langsung. Jika hilal tidak terlihat, maka hari dalam bulan hijriah tersebut akan digenapkan menjadi 30 hari. Diketahui jika metode ini dipakai oleh Nahdlatul Ulama (NU). Di sini hisab bukanlah penentu dalam perhitungan hilal, melainkan hanya menjadi alat bantu semata.

penanggalan hijriah dan 4 kriteria penentunya rukyatul hilal

Hal ini mereka lakukan dengan alasan untuk mencontoh sunnah dan contoh dari Rasulullah serta para sahabat hingga pada imam 4 madzhab. Hal ini juga sejalan dengan sebuah hadits shahih yang artinya:

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian melihat hilal, maka berpuasalah. Jika kalian melihatnya lagi, maka berhari rayalah. Jika hilal tertutup, maka genapkanlah (bulan Sya’ban menjadi 30 hari).” (Bukhari dan Muslim).

Wujudul Hilal

Kriteria ini memiliki dua prinsip utama, yaitu terjadinya konjungsi astronomis sebelum matahari terbenam, dan bulan baru yang telah terwujud di atas ufuk. Selama ketinggian bulan saat matahari terbenam ada di atas 0°, maka berdasar kriteria ini, kita telah memasuki bulan baru pada tahun hijriah.

penanggalan hijriah dan 4 kriteria penentunya wujudul hilal

Hingga saat ini, kriteria wujudul hilal masih dipakai oleh Muhammadiyah. Persis, yang jika disandingkan dengan Muhammadiyah masih tergolong pada organisasi Islam kecil, hanya memakai kriteria ini sampai tahun 2000. Diketahui kini Persis memakai kriteria imkanur rukyat untuk menentukan penanggalan hijriah.

Posisi hisab dalam kriteria ini bukanlah sebagai penentu atau hitungan probabilitas hilal akan terlihat atau tidak. Namun sebagai dasar penetapan awal bulan hijriah sekaligus dasar untuk menentukan saat untuk memasuki bulan baru tersebut.

Imkanur Rukyat MABIMS

Secara bahasa, imkanur rukyat adalah kriteria yang mempertimbangkan probabilitas dari kemunculan hilal. Sehingga hal ini secara langsung telah menjembatani antara hisab dan rukyat. Jika sebuah instansi memakai kriteria ini dalam penanggalan hijriah seperti Persis, maka ada tiga situasi yang sangat mungkin untuk dihadapi.

penanggalan hijriah dan 4 kriteria penentunya imkanur rukyat mabims

  • Saat ketinggian hilal berada di angka minus, baik itu hisab dan rukyat sepakat jika bulan baru belum muncul pada malam itu. Sehingga kemungkinan untuk penggenapan hari menjadi 30 hari akan terjadi secara instan.
  • Saat ketinggian hilal lebih dari 2°, maka hisab dan rukyat sepakat jika petang itu telah memasuki bulan baru dari penanggalan hijriah. Karena dalam ketinggian ini, hilal sangat mungkin untuk terlihat, dan tim yang bertugas untuk mengamati hilal juga akan mengkonfirmasi hal ini.
  • Saat ketinggian hilal berada di antara 0° hingga 2°, akan terjadi perbedaan hasil dari kriteria hisab dan rukyat. Terutama saat hilal tidak bisa dilihat dengan metode rukyat, maka menggenapkan hari dalam bulan hijriah haruslah dilakukan menurut metode rukyat. Tapi jika berdasarkan metode hisab, maka sebenarnya wilayah tersebut telah memasuki bulan baru, karena hilal telah berada di atas cakrawala.

Namun banyak yang mengatakan jika ketinggian hilal kurang dari 2°, maka hilal dengan ketinggian seperti itu memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk terlihat. Namun jika hilal berhasil dilihat, metode hisab ataupun rukyat telah bersepakat jika suatu wilayah telah memasuki bulan baru.

Sesuai dengan kata MABIMS, kriteria ini didasari oleh musyawarah antara kementerian agama di tiga negara. Kepanjangan dari singkatan MABIMS sendiri adalah Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, Singapura.

Kriteria ini adalah dasar dari penanggalan hijriah yang dipakai dalam kalender yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia. Kriteria ini sendiri memiliki dua prinsip inti, antara lain:

  • Minimum ketinggian bulan di atas cakrawala saat matahari terbenam adalah 2°, serta sudut lengkung bulan dan matahari, atau elongasi mencapai 3°

Atau

  • Usia bulan ketika terbenam minimal 8 jam. Perhitungan ini dimulai sejak terjadi konjungsi astronomis.

Rukyat dan Hisab Global

Secara singkat, rukyat global memiliki satu prinsip. Jika seseorang telah melihat hilal berapapun besar sudut elongasi dan ketinggiannya, maka seluruh negeri telah memasuki bulan baru pada penanggalan hijriah. Dalam kriteria yang digunakan oleh Hizbut Tahrir ini, hanya dibutuhkan satu orang yang telah melihat hilal.

Sebenarnya wacana untuk mempersatukan penanggalan umat telah muncul sejak tahun 1939. Dalam bukunya yang berjudul Awa’il al-Syuhur al-‘Arabiyah, Ahmad Muhammad Syakir dengan lantang menyerukan urgensi penyatuan penanggalan hijriah di seluruh dunia, agar umat Islam bisa selalu menggunakannya.

penanggalan hijriah dan 4 kriteria penentunya rukyat dan hisab global

Beliau juga mengemukakan agar metode hisab bisa diterima oleh masyarakat luas. Tapi hingga kini, kenyatannya umat muslim di seluruh dunia telah terlena dengan sistem penanggalan Masehi yang tersekat-sekat oleh wilayah dan organisasi. Contoh nyata dari fenomena ini adalah penggunaan kalender Malaysia, India, NU, dan sebagainya.

Dalam standar metode hisab global, maka setidaknya ketinggian hilal minimal 5°, dan besar minimal elongasi adalah 8°. Metode hisab global ini sendiri dilakukan tanpa melupakan zona waktu yang berlaku di seluruh dunia, sehingga hilal tidak akan bisa dilihat secara sekaligus oleh seluruh dunia, namun bertahap.

Di balik berbagai perbedaan metode dan hasil, terkadang cuaca yang kurang mendukung pada tanggal 29, yang selalu menjadi saat untuk melakukan rukyat, bisa menyembunyikan hilal. Jika hilal sulit terlihat di banyak tempat, melalui Sidang Isbat, pemerintah akan memutuskan untuk menggenapkan hari dalam bulan hijriah menjadi 30 hari.

Meskipun begitu, pemerintah tidak akan memaksakan kehendaknya untuk menyamakan penanggalannya dengan penanggalan organisasi Islam lainnya. Perbedaan dalam sistem penanggalan ini sudah cukup sering terjadi di Indonesia, terutama dalam penetapan awal bulan Ramadhan dan Syawal.

Seperti yang terjadi pada tahun 2011 dan 2012. Dalam kalender nasional, telah tercetak jika bulan Syawal akan dimulai pada tanggal 30 Agustus 2011. Namun dalam sidang Isbat, pemerintah memutuskan untuk memundurkan awal Syawal ke tanggal 31 Agustus 2011.

Meskipun begitu, Muhammadiyah memilih untuk melaksanakan hari raya Idul Fitri pada tanggal 30 Agustus. Begitu juga dengan awal Ramadhan tahun 2012, saat Muhammadiyah memulai bulan Ramadhan sehari sebelum ketetapan pemerintah, yaitu pada tanggal 20 Juli 2012. Sementara berdasarkan keputusan di sidang Isbat, Indonesia akan memasuki bulan Ramadhan pada tanggal 21 Juli 2012.

Namun terlepas dari semua itu, pemerintah Indonesia lebih mementingkan toleransi antara sesama umat muslim dalam cara menentukan awal dan akhir ramadhan, sehingga setiap muslim di negara ini bisa lebih leluasa dan mantap dalam meyakini keputusan yang diambil olehnya sendiri.

penanggalan hijriah dan 4 kriteria penentunya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *