Secara historis, agama yang lahir di Indonesia kebanyakan memiliki unsur animisme dan mistis yang kental. Baik Hindu, Buddha, Nasrani, ataupun Islam tidaklah terlahir di Bumi Pertiwi ini. Seperti yang diketahui masyarakat umum, Islam berasal dari Mekkah, Arab Saudi. Islam sendiri terus menyebar secara perlahan ke seluruh dunia dengan berbagai metode, termasuk Indonesia.
Meskipun orang Indonesia lebih mengenal dua teori dalam masalah ini, namun sebenarnya terdapat lima teori lagi yang kurang populer di masyarakat. Ketujuh teori mengenai proses masuknya Islam ke Indonesia sendiri didasari oleh beberapa bukti kuat, seperti halnya batu nisan atau prasasti. Meskipun seringkali menimbulkan perdebatan, berikut ini adalah tujuh teori yang membahas mengenai sejarah masuknya Islam ke Indonesia:
Teori Gujarat
Teori ini mengemukakan jika Islam di Indonesia bukanlah berasal dari Mekkah ataupun Mesir, tetapi dari wilayah Gujarat, India. Teori ini tercatat dimulai pada abad ke 13. Teori ini sendiri terjadi karena adanya perdagangan di kawasan utara pulau Sumatra antara pribumi dengan para pedagang dari Gujarat. Tidak tercatat dengan jelas pihak mana yang aktif berperan dalam penyebaran Islam di teori ini.
Teori ini dipopulerkan oleh Snouck Hurgronje dan J. Pijnapel, dua ilmuwan berkebangsaan Belanda yang mendalami sejarah Hindia Belanda. Teori ini, yang juga didukung oleh banyak ilmuwan Barat lainnya, mulai populer pada abad 19. Hal ini menjadikan orang Barat hingga kini percaya jika Islam di Indonesia berasal dari kontak dengan para pedagang Gujarat.
Teori ini didukung dengan corak batu nisan pendiri Kesultanan Samudera Pasai, Malik Al-Saleh, yang berasal dari tahun 1297. Corak pada batu nisan ini lebih sering dihubungkan dengan corak batu nisan di pemakaman muslim Gujarat. Diketahui jika Malik Al-Saleh dulunya bernama Marah Silu, dan agama yang beliau anut sebelum Islam adalah aliran kepercayaan.
Selain itu, tasawuf juga mulai berkembang di Indonesia pada abad ini, bersamaan dengan perkembangan tasawuf di wilayah Gujarat yang bercorak sufistik. Fakta ini membuat para orientalis percaya jika Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang sudah mundur karena invasi besar-besaran Mongol ke teritori Islam.
Namun teori ini juga banyak ditentang oleh ilmuwan lainnya. Alasan pertama adalah, tempo hari wilayah Gujarat masih dikuasai oleh kerajaan Hindu. Lalu alasan keduanya adalah, terdapat perbedaan madzhab yang cukup mencolok antara orang-orang Indonesia dan Gujarat tempo hari. Sejak dulu hingga kini, orang-orang Indonesia mayoritas menganut madzhab Syafi’i, sementara orang-orang Gujarat tempo hari lebih banyak menganut madzhab Hanafi.
Teori Bengal
Secara sederhana, teori ini adalah salah satu antitesis atau teori yang menyanggah dari teori Gujarat. Karena teori ini menyatakan jika tokoh-tokoh Samudera Pasai adalah keturunan Benggali, atau kini lebih dikenal dengan wilayah Bangladesh. Teori ini juga mengemukakan jika seluruh batu nisan dari era Samudera Pasai lebih mirip dengan batu nisan dari wilayah Bengal.
Teori yang dipopulerkan oleh S.Q. Fatimi ini mengatakan jika Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 11. Teori ini juga mengkritisi tentang keberadaan batu nisan milik Siti Fatimah, yang bertuliskan 475/1082 di Leran, Jawa Timur.
Selain batu nisan milik Siti Fatimah ini, tercatat ada batu nisan lain yang umurnya lebih tua dari batu nisan milik Sultan Malik Al-Saleh. Lokasi batu nisan itu sendiri terdapat di Fak-Fak dan Papua. Namun semua batu nisan itu belumlah terbukti secara empiris keberadaannya.
Teori ini juga mempermasalahkan tentang perbedaan madzhab yang dianut oleh kedua pihak. Tercatat jika orang-orang di kawasan Bengal tempo hari menganut madzhab Hanafi. Sementara hingga kini, mayoritas masyarakat Indonesia masihlah menganut madzhab Syafi’i.
Teori Coromandel dan Malabar
Teori ini diprakarsai oleh Thomas W Arnold, dan teori ini menjadi antitesis lain dari Teori Gujarat. Teori ini menyatakan jika ukiran di atas batu nisan bukanlah patokan dari pusat persebaran Islam. Teori ini sendiri berpatokan pada kesamaan madzhab yang dianut antara masyarakat muslim Nusantara dan masyarakat muslim di pesisir selatan India tempo hari, yaitu madzhab Syafi’i.
Teori ini juga didukung oleh GE Morrison. Beliau berpendapat, bahkan di tahun 1297, wilayah Gujarat masihlah dikuasai oleh kerajaan Hindu. Pendapat ini didasari oleh laporan seorang ahli obat berkebangsaan Portugal, Tomé Pires, yaitu Suma Oriental.
Morrison akhirnya berpendapat jika Islam masuk ke Nusantara melalui pesisir India Selatan. Pendapat ini juga mendapat balasan dukungan dari Thomas W Arnold. Selain mendukung tentang kesamaan madzhab di antara ketiga wilayah tersebut, Arnold turut menyebutkan jika para pedagang dari pesisir selatan India memiliki peran penting dalam penyebaran Islam di Indonesia.
Teori Mekkah
Diperkenalkan oleh Haji Abdul Karim Amrullah, atau yang lebih dikenal masyarakat luas sebagai Buya Hamka, teori ini mengatakan jika Islam masuk ke Indonesia langsung dari Mekkah pada abad ke 7. Teori ini beliau ungkapkan pada tahun 1958 dalam orasinya pada acara Dies Natalis di sebuah universitas di Yogyakarta.
Beliau menolak anggapan para orientalis Barat yang percaya jika Islam di Indonesia tidak bersumber dari Arab. Beliau juga mengatakan jika penyebaran Islam di Indonesia tidaklah didasari oleh hubungan ekonomi. Karena beliau sendiri meyakini, hubungan dagang antara orang-orang Melayu dan bangsa Arab telah terbentuk sejak sebelum Masehi.
Argumentasi Buya Hamka ini sejalan dengan Teori Sufi yang diutarakan oleh A.H.Johns. Beliau menyatakan para pengembara sufi telah melakukan banyak usaha dalam melakukan Islamisasi tahap awal di Indonesia.
Karena biasanya, sambil berpetualang dari satu tempat ke tempat lainnya, para pengembara sufi akan mendirikan sebuah perguruan tarekat. Tempat-tempat seperti itulah yang akan menjadi tempat peristirahatan mereka dalam perjalanan panjangnya.
Pernyataan Buya Hamka mengenai relasi perdagangan antara Nusantara dan Arab juga didukung oleh Thomas W Arnold. Beliau menegaskan jika orang-orang Arab telah menguasai perdagangan di Ceylon, atau yang kini dikenal dengan nama Sri Lanka, pada abad kedua sebelum Masehi.
Teori ini juga selaras dengan arsip-arsip Arab kuno, yang menyebutkan kata Al-Hind sebagai India dan pulau-pulaunya di bagian timur hingga ke Cina. Tempo hari wilayah Nusantara juga disebut sebagai Pulau-Pulau Cina, dan ini memperbesar kemungkinan jika teori akan hubungan bangsa Arab dan Melayu telah terbentuk sejak dulu sekali.
Teori China
Teori ini mengemukakan jika masuknya Islam berasal dari para perantau dan pedagang China pada abad kesembilan lewat Palembang. Sebelumnya, diketahui jika Islam telah masuk ke China pada abad ketujuh. Orang China sendiri telah lama menjalin hubungan dengan Nusantara, bahkan mereka telah berbaur dengan masyarakat Nusantara sejak masa kerajaan Hindu-Buddha.
Sumanto Al Qurtuby dalam bukunya, Arus Cina-Islam-Jawa, menyatakan jika pada masa Dinasti Tang, di daerah Kanton, Zhang-zhao, Quanzhou, dam pesisir Cina bagian selatan, telah berdiri beberapa pemukiman muslim.
Jika dilihat dari beberapa sumber luar negeri, yang berasal dari kronik, maupun lokal, yang berasal dari hikayat dan babad, teori China bisa diterima. Bahkan menurut sejumlah sumber lokal tertulis bahwa raja Islam pertama di Jawa, yakni Raden Patah, yang merupakan pendiri dan Sultan pertama dari Kesultanan Demak, adalah seseorang dengan darah China yang kental.
Ayahnya, Raden Brawijaya V, menikahi seorang gadis yang berasal dari daerah Campa, yang kini lebih dikenal dengan Vietnam. Diketahui jika nama China dari Raden Patah adalah Jin Bun.
Berdasarkan Sejarah Banten dan Hikayat Hasanuddin, nama dan gelar dari keluarga kerajaan Demak ditulis dengan menggunakan istilah China, seperti halnya “Cek Ko Po”, “Jin Bun”, “Cek Ban Cun”, “Cun Ceh”, serta “Cu-cu”. Nama-nama seperti “Munggul” dan “Moechoel” sendiri didapat dari nama-nama Mongolia, yang letaknya tidak jauh dari China.
Bukti-bukti lain dari teori ini adalah keberadaan masjid-masjid tua yang memakai unsur arsitektur Tiongkok di berbagai tempat, terutama di Pulau Jawa. Menurut catatan lama China, diketahui jika berbagai kota pelabuhan penting seperti Gresik dikuasai lebih dulu oleh para pedagang China.
Teori Persia
Teori ini menyatakan jika tempo hari bangsa Persia, atau yang kini lebih dikenal dengan Iran, adalah penyebar agama Islam di Nusantara. Teori ini didukung oleh dua ahli yang bernama Umar Amir Husein dan Prof. Hussein Jayadiningrat. Teori ini juga menyebutkan jika para pedagang Persia memiliki peran penting dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Teori ini didasari oleh fakta jika banyak sekali ajaran Syi’ah di Nusantara saat Islam baru tersebar di sini. Selain itu, teori ini juga didasari dengan banyaknya budaya Persia yang berasimilasi dengan budaya Nusantara, seperti halnya:
- Keberadaan perkampungan Leran atau Leren di Giri, Gresik.
- Penggunaan sistem bahasa Persia dalam pengejaan huruf Arab, khususnya untuk tanda-tanda bunyi harakat.
- Tradisi Tabut di Bengkulu dan tradisi Maulid Cikoang di Takalar, Sulawesi Selatan. Tradisi dan lambang yang ditampilkan dalam upacara Tabut/Tabot, yang bisa dikaitkan dengan kata taubat atau pengampunan dosa dari Allah Swt. Tradisi ini sangat kental dengan budaya Persia.
- Banyak kosakata bahasa Persia yang menjadi kosakata Bahasa Melayu, yang tidak terlalu jauh dengan Bahasa Indonesia. Bahasa Melayu dan bahasa Indonesia diketahui masih berasal dari rumpun yang sama.
- Kesamaan ajaran sufi yg dianut Syaikh Siti Jenar dengan ajaran Al Hallaj.
- Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein.
Teori Maritim
Teori Maritim meyakini jika persebaran Islam diprakarsai oleh masyarakat lokal yang ulung dalam berlayar dan berdagang. Mereka berlayar ke negeri orang, dan melakukan kontak dengan orang-orang di sana. Para pengembara ini juga tentu tidak melewatkan wilayah yang masyarakatnya telah menganut agama Islam, atau bahkan berlayar ke Arab.
N.A. Baloch, sejarawan berkebangsaan Pakistan, mempertegas argumen tersebut dengan menyebut bahwa para pelaut dan pedagang asli Nusantara bersinggungan langsung dengan para saudagar muslim, khususnya para saudagar Timur Tengah.
Para pelaut ini lalu memperkenalkan Islam di jalur perdagangan yang mereka datangi, seperti halnya daerah Malaka atau Aceh. Menurut Baloch, ini terjadi pada abad ketujuh, dan peristiwa ini dimulai dari pesisir Aceh, hingga meluas ke banyak daerah di Nusantara.
Di balik perdebatan para sejarawan hingga saat ini, Indonesia memang tempat yang sangat mendukung kontak antara bangsa Indonesia dan bangsa lainnya. Lalu orang-orang Nusantara juga terkenal sebagai pelaut yang tangguh dan senang mengembara. Sehingga tidak jarang jika beberapa budaya Indonesia kini sedikit mengadopsi budaya lain, mengingat Indonesia memiliki kontak erat dengan seluruh dunia sejak zaman dahulu.