Sebagian besar orang menggunakan istilah yang dianggap “umum” meskipun belum memahami makna sebenarnya. Misalnya saja menggunakan kata “syariat Islam” dalam keseharian untuk berinteraksi dengan orang lain. Padahal belum tentu kita semua mengerti persis definisi dari kata tersebut. Meski demikian, syariat Islam sering digambarkan sebagai hukum Islam yang berlalu dan menjadi pembeda dari keyakinan atau kepercayaan orang lain. Namun, nyatanya tidak sesederhana itu. Syariat Islam jauh lebih luas dan mencakup beberapa hal yang harus diketahui oleh semua umat muslim. Simak penjelasannya dalam artikel berikut ini.
Syariat Islam Tidak Selalu Sama Dengan Hukum Islam
Sistem hukum Islam beroperasi dalam berbagai cara dan fleksibel. Penggunaan istilah tunggal “hukum Islam” tidak boleh dipahami sebagai tidak adanya polisentrisitas hukum atau pluralisme hukum. Faktanya beberapa kelompok dan lembaga menghasilkan hukum Islam khusus. Hal ini dikarenakan sistem hukum Islam dan non-Islam hidup berdampingan. Dalam hal ini hukum Islam bisa berbeda di setiap wilayah tergantung minoritas atau mayoritas muslim di daerah tersebut.
Sedangkan syariat Islam tidak selalu sama dengan hukum Islam. Jika hukum Islam cenderung berkaitan dengan legalitas muslim di suatu wilayah atau praktik hukum komunitas Muslim non-negara. Sementara syariat Islam mengacu pada interpretasi hukum (fiqh) terhadap hukum ilah. Syariat Islam secara internasional dikenal dengan istilah Sharīʿah, yaitu konsep dasar agama Islam yang utuh dan mutlak. Maka demikian, sifat syariat Islam universal.
Syariat Islam Menjadi Panduan Umat Islam
Syariat Islam dipandang sebagai ekspresi perintah Tuhan bagi umat Islam dan dalam penerapannya, merupakan menjadi kewajiban semua Muslim berdasarkan keyakinan agama mereka. Dikenal sebagai Syariah yang secara harfiah bermakna “jalan menuju tempat berair”. Artinya syariat Islam tersebut mewakili jalur perilaku yang difirmankan oleh Allah, sebagai Tuhan Yang Maha Esa yang membimbing umat Islam menuju surga yang kekal.
Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu’ Fatawa mendefinisikan syariat Islam sebagai sebuah konsep menaati Allah, menaati Rasul-Nya, dan para pemimpin dari kalangan orang muslim beriman. Sementara Imam Ibnu Atsir Al-Jazari memaparkan bahwa syara’ dan syariat lebih didefinisikan terkait agama yang Allah syariatkan atas hamba-hamba-Nya. Dari agama tersebut Allah menjelaskan dan menetapkan kewajiban umat-Nya yang harus dilakukan. Definisi ini bisa ditemukan dalam kitab an-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Atsar.
Interpretasi Warisan Nabi Muhammad
Bagi komunitas Muslim pertama, yang didirikan di bawah kepemimpinan Nabi Muhammad SAW di Medina pada tahun 622, wahyu-wahyu Al-Qur’an menetapkan standar perilaku dasar. Tetapi Al-Qur’an bukan kode hukum yang komprehensif, sehingga hanya sekitar 10 persen dari ayat-ayatnya yang membahas masalah hukum. Selama hidupnya, Nabi Muhammad, sebagai hakim tertinggi masyarakat, sehingga Rasulullah menyelesaikan masalah hukum yang muncul dengan menafsirkan dan memperluas ketentuan umum Al-Qur’an. Hal ini telah mendasari tradisi hukum yang berlanjut setelah kematian Rasulullah.
Dengan ekspansi yang cepat dari wilayah Islam di bawah penerus politik Muhammad, pemerintahan Muslim menjadi lebih kompleks secara administratif dan berhubungan dengan hukum, sekaligus institusi dari tanah yang ditaklukkan Muslim. Kemudian, melalui pengangkatan hakim atau qadi di berbagai provinsi dan distrik, sebuah peradilan muslim yang terorganisir muncul.
Para qadi bertanggung jawab untuk memberikan sanksi terhadap penyimpangan yang berkembang, baik dalam hal administrasi dan fiskal. Para hakim juga mengadopsi elemen dan institusi hukum Romawi-Bizantium dan Persia-Sasania ke dalam praktik hukum Islam di wilayah yang ditaklukkan. Tergantung pada kebijaksanaan masing-masing qadi, keputusan pengadilan didasarkan pada aturan-aturan Al-Qur’an yang ditrafsirkan sebaik mungkin, sehingga sifatnya bisa subjektif.
Selanjutnya, ada istilah yurisprudensi Muslim, yaitu ilmu untuk memastikan istilah-istilah yang tepat dari Syariat Islam dan kini dikenal sebagai ilmu fiqh. Dimulai pada paruh kedua abad ke-8, transmisi lisan dan pengembangan ilmu fiqh tersebut, telah memberi jalan kepada literatur hukum tertulis yang ditujukan untuk mengeksplorasi hukum dan metodologi yang tepat untuk menangani masalah hukum Islam. Sepanjang periode abad pertengahan, doktrin dasar dijabarkan dan dijadikan literatur yang sangat banyak, hingga menjadi pedoman bagi hukum Syariat Islam saat ini.
Syariat Dalam Makna Umum Dan Khusus
Doktor Athiyah Fayyad menjelaskan syariat Islam dalam dua definisi. Dalam makna umum, syariat Islam mencakup seluruh hukum yang menjadi ketetapan Allah. Alhasil ketetapan ini wajib dipatuhi oleh semua hamba-Nya. Hukum yang dimaksud berasal dari Al-Quran dan lisan rasul-Nya. Dalam definisi ini semua aktivitas manusia diatur melalui syariat Islam, sehingga ada aturan tentang akidah, moral, ibadah, pekerjaan, politik, hukum, kekuasaan, warisan, sikap sosial dan sebagainya.
Syariat Islam menjadi hukum yang menyeluruh dan sempurna karena membahas semua hal yang terjadi pada manusia. Semua syariat Islam dalam pandangan ini memiliki aturan yang jelas, tidak hanya perintah, namun makna dan tata pelaksanaannya juga diperjelas.
Sementara itu, syariat Islam dalam makna khusus sedikit berbeda. Syariat dalam kategori ini mencakup sebagian dari hukum-hukum syar’i karena adanya kebutuhan khusus. Misalnya syariat Islam yang digunakan dengan makna akidah, maka definisi syariat menjadi hal-hal yang berkaitan dengan hukum fisik. Syariat Islam khusus juga menggambarkan hubungan manusia dengan Sang Pencipta, dengan sesama manusia, manusia dengan alam maupun manusia dengan kehidupan.
Masih tergolong pengertian khusus, kata syariat juga sering disandingkan dengan kata fiqh, meski syariat sebenarnya merujuk pada hukum dari wahyu Allah SWT. Sedangkan fiqh menitikberatkan pada hasil ijtihad (pemikiran) para mujtahid.
Asas Syara’ Dan Furu’ Syara
Perkara kehidupan umat Islam idealnya berada pada payung “syariat Islam”. Dalam menjalani kehidupan di dunia, manusia semata-mata bertujuan untuk beribadah kepada Allah SWT. Pelaksaan hal ini dilakukan dengan asas yang terdapat pada syariat Islam yaitu Asas syara’ (ibadah Mahdah) dan Furu’ syara (Gairu Mahdah).
Asas Syara’ (Mahdah)
Asas syara’ merupakan aturan syariat yang sudah ada dan jelas ketentuannya pada Al-Quran dan Hadits. Kedudukannya sebagai Pokok Syariat Islam di mana Al-Quran itu asas pertama Syara` dan Hadist itu sebagai asas kedua syara’. Sebagai aturan syariat utama dan paling penting, maka Al-Quran dan Hadits sifatnya mengikat umat Islam seluruh dunia di mana pun berada, bahkan sejak kerasulan Nabi Muhammad hingga akhir zaman.
Uniknya, ada pengecualian yaitu kecuali dalam keadaan darurat asas syara’ bisa tidak dilakukan. Keadaan darurat dalam istilah agama Islam diartikan sebagai suatu keadaan yang memungkinkan umat Islam tidak mentaati Syariat Islam, yakni karena keadaan yang terpaksa atau dalam keadaan yang membahayakan diri sendiri baik secara lahir dan batin.
Tentu saja keadaan darurat terjadi tanpa diduga, tanpa diingatkan dan tanpa persiapan sebelumnya. Maka manusia sebaiknya tidak memanfaatkan keadaan tersebut untuk melanggar syariat Islam berkepanjangan. Jika keadaan darurat itu berakhir, maka umat muslim wajib segera kembali kepada ketentuan syariat yang berlaku.
Furu’ Syara’ (Ghoir Mahdah)
Furu’ syara’ adalah perkara yang belum memiliki aturan jelas pada Al-Quran dan Hadits. Alhasil diperlukan disiplin ilmu lain untuk melengkapinya selama tidak menyalahi kedua pondasi tersebut. Ini disebut juga ijtihad yaitu cabang dari Syariat Islam yang terkait kehidupan sehari-hari.
Akan tetapi furu’ syara’ tidak boleh menyentuh akidah dan ibadah pokok, seperti rukun iman, ibadah shalat, puasa, dan makanan yang halal. Sifat asas ini pada dasarnya tidak mengikat seluruh umat Islam di dunia, karena bisa saja berbeda penerapannya dalam wilayah kekuasaannya. Oleh sebabnya terkadang ada perbedaan pendapat dari para ulama.
Dengan demikian hukum syariat Islam perlu dipahami oleh semua kaum muslimin dan muslimah karena ini adalah aturan yang mengikat seluruh umat. Selain mengenai aturan dan perintah terkait sendi kehidupan, syariat Islam juga berisikan penyelesaian masalah dalam berbagai bidang. Sehingga syariat Islam adalah hukum yang sempurna.